Laporan Wartawan Grid.ID, Corry Wenas Samosir
Grid.ID - Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami Lesti Kejora mendapat sorotan publik.
Lesti sebagai korban juga mencabut laporan dan memaafkan pelakunya, yakni suaminya, Rizky Billar.
Banyak netizen yang menyayangkan keputusan Lesti untuk berdamai, termasuk artis Thalita Latief yang ikut bersuara.
Thalita Latief yang pernah menjadi korban KDRT mengakui kasus tersebut memang sulit untuk lepas.
"Ini kalau aku termasuk korban yang move on dong, nggak satu sama lain," ujar Thalita Latief saat Grid.ID jumpai di kawasan Mampang, Jakarta Selatan baru-baru ini.
"Saya sih bilang mungkin ini sedikit edukasi yang terperangkap di situasi seperti itu bisa berempati dan bersimpati I have than, artinya aku pernah di situasi itu, namanya kekerasan fisik itu sangat menyakitkan," ungkapnya.
Thalita juga menyebut KDRT sebagai penyakit.
Sebab KDRT adalah racun dalam hubungan dan sangat merugikan orang lain.
Orang yang mengalami KDRT dalam bentuk intimidasi, sikap temperamental, kekerasan hingga penekanan dan posesif yang berlebih bisa berdampak pada psikisnya.
"Itu adalah racun multitasking yang disebut toxic relationship," lanjutnya.
Baca Juga: Pernah Alami KDRT, Thalita Latief Pilih Tak Berdamai dengan Pelaku
"Nah, kalau memang kita sudah sadar hubungan KDRT, hubungan perselingkuhan itu semua adalah penyakit, kalau penyakit tidak bisa orang lain yang dialami itu," kata Thalita Latief.
Thalita Latief juga mempunyai pandangan soal Lesti yang memilih memaafkan Rizky demi sang anak.
Menurutnya, Lesti takut sang anak kurang mendapat kasih sayang dari seorang ayah hingga malu dengan perilaku ayahnya.
"Dan alasannya banyak sekali, khususnya perempuan pasti perkembangannya anak juga begitu, pertimbangannya anak, kalau nanti jadi ibu tunggal bisa nggak membesarkan anak sendiri, gimana nanti kalau anak saya nggak memilki sosok bapak, gimana anak saya malu nggak punya bapak, kalau nanti anak saya tahu kelakuan bapak," terang Thalita Latief.
Kendati begitu, Thalita mengembalikan lagi kepada korban.
Menurut dia, setiap keputusan tentu ada konsekuensinya.
"Kalau aku bilang gini, belum tentu salah. Kita enggak bisa justifikasi orang bahwa kalau ada pasangan yang tiba-tiba mau berdamai, kita enggak bisa justifikasi orang salah."
"Karena mereka punya pertimbangan sendiri. Tapi, yang saya bilang, ada faktor konsekuensi dan faktor resikonya," pungkasnya.
(*)