“Saya lari 10 kilometer dari Blondo ke Borobudur. Makanya sekarang juga saya senang sekali melihat para pelari ini,” Istiqomah bercerita.
Suasana meriah mewarnai rute, terutama karena adanya panduan sorak dari warga desa maupun sekolah-sekolah.
Mereka menyanyi, menari, memainkan musik, dan mengenakan kostum-kostum bernapaskan adat daerah untuk menjaga energi para pelari.
Di salah satu titik misalnya, panggung kecil didirikan untuk pertunjukan kolintang dan bermacam dendang.
Ini adalah persembahan dari SMPN 1 Kota Mungkid, Magelang.
“Untuk Borobudur Marathon ini, kami menyiapkan pertunjukan berupa orkestra kolintang dengan perpaduan gerak dan seni.”
“Ada beberapa lagu daerah dan nasional yang dibawakan. Penampilnya 120 siswa yang diseleksi dari kelas 7 dan 8,” cerita Mohammad Yusup, Wakil Kepala Sekolah SMPN 1 Kota Mungkid.
Kelompok ini hanyalah salah satu dari puluhan penampil yang menyemarakkan Tilik Candi.
Rayakan budaya
Ketulusan dan kehangatan warga serta budaya yang ditampilkan untuk para pelari adalah cerminan nyata apa yang diungkapkan Gubernur Jawa Tengah dan Direktur Bank Jateng Supriyatno sebelumnya, bahwa Borobudur Marathon adalah ajang wisata olahraga.
Selain menonjolkan pertandingan berlarinya itu sendiri, Borobudur Marathon selalu menjadi cara untuk merayakan kekayaan budaya lokal, baik lewat sambutan warganya maupun pengalaman lain yang ditawarkan Magelang.
Baca Juga: Rangkaian Borobudur Marathon: Festival Pasar Harmoni Angkat Kuliner dan Kriya Lokal