Angklung diketahui sudah ada semenjak zaman Kerajaan Sunda, bahkan telah dimainkan sejak abad ke-7.
Alat musik ini dipercaya sudah ada sejak 400 tahun yang lalu di Jawa Barat.
Penduduk desa di Jawa Barat percaya bahwa suara bambu bisa menarik perhatian Dewi Sri yang merupakan Dewi Padi dan Kemakmuran.
Menurut buku "Panduan Bermain Angklung (2010)" karya Obby A.R Wiramihardha disarikan Kompas.com, 27 Desember 2020, sejarah angklung awalnya merupakan salah satu alat bunyi-bunyian yang digunakan untuk upacara-upacara yang berhubungan dengan padi.
Dulu angklung tak hanya dipakai sebagai kesenian murni, tetapi juga untuk upacara ritual keagamaan sebagai pengganti genta (bel) yang dipakai oleh seorang pedanda (pendeta Hindu).
Sementara itu, pada masa Kerajaan Pajajaran (Hindu), angklung dijadikan sebagai alat musik korps tentara kerajaan.
Saat terjadinya perang Bubat, angklung dibunyikan oleh tentara kerajaan sebagai pembangkit semangat juang.
Masyarakat dari suku baduy di Desa Kanekes juga memainkan angklung dalam beberapa upacara tradisional mereka.
Sementara di Desa Cipining, Bogor, terdapat angklung gubrag yang dikaitkan dengan cerita Dewi Sri.
Menurut cerita rakyat setempat, kemunculan angklung berawal dari bencana gagal panen yang menyebabkan kelaparan.
Kini, angklung dimainkan oleh masyarakat luas dan menjadi warisan budaya Indonesia yang terus dilestarikan.