Pura Mangkunegaran dibangun pada tahun 1757 oleh Raden Mas Said atau yang dikenal dengan Pangeran Samber Nyawa.
Pura ini dibangun setelah Akad Salatiga yang mengawali pendirian Praja Mangkunegaran pada tanggal 13 Maret 1757.
Dua tahun sebelumnya, Akad Giyanti membagi pemerintahan Jawa menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta oleh VOC (Kompeni) pada tahun 1755.
Kerajaan Surakarta terpisah setelah Pangeran Raden Mas Said terus memberontak pada VOC (Belanda).
Ketika naik tahta Raden Mas Said sebagai Mangkunera I dan mendirikan wilayah kekuasaannya di sebelah barat tepian Sungai Pepe (Kali Pepe) di pusat kota yang sekarang bernama Solo.
Pura Mangkunegaran lantas mengalami beberapa perubahan selama puncak masa pemerintahan kolonial Belanda di Jawa Tengah yang terlihat pada arsitektur bergaya Eropa.
Pura menghadap ke Selatan dan dibagi menjadi tiga halaman.
Halaman pertama dari sebelah Selatan berupa Pamedan, yaitu lapangan perlatihan prajurit pasukan Mangkunegaran.
Disebelah Timur Pamedan terdapat bangunan Kavaleri Artileri yang berlantai dua.
Pintu gerbang kedua menuju halaman dalam terdapat Pendopo Akbar yang berukuran 3.500 meter persegi yang mampu menampung lima sampai sepuluh ribu orang.
Kemudian untuk pendoponya didominasi dengan bangunan dari kayu yang diambil dari perbukitan Wonogiri.
Menariknya, bangunan ini didirikan tanpa menggunakan paku.
Di pendopo ini terdapat empat set gamelan, satu dipakai secara rutin dan tiga lainnya dipakai hanya pada upacara khusus.
Pendopo didominasi warna kuning dan hijau yang merupakan warna pari anom (padi muda), warna khas keluarga Mangkunegaran.
(*)