Grid.ID - Istilah golput alias golongan putih mungkin sudah sering didengar.
Golput merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut seseorang yang menolak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu.
Menyambut Pemilu 2024 mendatang, simak yuk fakta menarik sampai sejarah golput dalam pesta demokrasi di Indonesia.
Istilah satu ini ternyata lahir dari bentuk protes kelompok pemuda dan mahasiswa saat pelaksanaan Pemilu perdana di era Orde Baru.
Pemilu saat itu digelar pada 5 Juli 1971.
Saat itu banyak orang yang akhirnya memilih golput karena menilai tidak ada satu pun tokoh politik yang bisa menampung dan memperjuangkan aspirasi mereka.
Dalam Pemilu 1971, jumlah partai politik yang menjadi peserta hanya 10.
Jumlah itu jauh lebih sedikit dibanding Pemilu 1955 yang diikuti 172 partai politik.
Sejumlah partai politik yang mengikuti Pemilu 1971 adalah Partai Katolik, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), dan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).
Baca Juga: Ditanya Dukung Capres Siapa pada Pemilu 2024, Presiden Jokowi Buka Suara: Jangan Sampai Keliru!
Sedangkan Golongan Karya yang menjadi pemenang Pemilu 1971 tidak digolongkan ke dalam partai politik.
Saat itu beberapa partai politik dibubarkan oleh Orde Baru, di antaranya Partai Komunis Indonesia (PKI), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), dan Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Salah satu tokoh pegiat yang menjadi motor gerakan golput adalah Arief Budiman.
Dia menggiatkan kampanye golput bersama sejumlah aktivis seperti Adnan Buyung Nasution, Imam Waluyo, Julius Usman dan Husin Umar.
Ajakan untuk golput itu disampaikan di Gedung Balai Budaya Jakarta.
Pamflet dengan tema 'Tidak Memilih Hak Saudara', 'Tolak Paksaan dari Manapun', dan 'Golongan Putih Penonton yang Baik' banyak bertebaran di ibu kota kala itu.
Mereka juga mengajak masyarakat untuk mencoblos di luar gambar partai atau di bidang putih supaya surat suara tidak sah.
Sejak itulah kelompok golput perlahan-lahan berkembang dalam setiap Pemilu.
Pada tahun-tahun berikutnya bahkan sampai saat ini, istilah golput begitu terus melekat di masyarakat.
Baca Juga: Ditanya Dukung Capres Siapa pada Pemilu 2024, Presiden Jokowi Buka Suara: Jangan Sampai Keliru!
Dalam perkembangannya, golput terbagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut.
1. Golput akibat persoalan teknis
Orang-orang yang memilih tidak menggunakan hak pilihnya tidak bisa hadir ke tempat pemungutan suara (TPS) karena sesuatu hal, misalnya memilih melakukan kegiatan lain sebab hari pemungutan suara dinyatakan sebagai libur nasional.
Atau dengan kata lain, mereka yang golput karena alasan teknis adalah kalangan yang apatis dalam urusan politik.
2. Golput ideologis
Alasan kedua masyarakat yang memilih golput adalah kalangan yang melakukan dengan kesadaran karena pemilih menilai tidak ada kandidat yang pantas untuk diberi mandat.
Jenis golput ini cenderung sebagai bentuk protes terhadap pilihan kandidat yang terbatas dan dinilai tidak memenuhi aspirasi mereka.
Golput semacam ini kerap disebut golput ideologis, karena mereka yang melakukannya memiliki argumentasi yang kuat dan masuk akal.
Berkembang Pada Pilpres 2004, tingkat golput pada putaran I menunjukkan angka 21,80 persen dan pada putaran II sebesar 23,40 persen.
Baca Juga: Farhat Abbas Bersama 16 Partai yang Tidak Lolos ke Pemilu 2024 Adukan KPU ke DPD RI
Sedangkan pada Pilpres 2009, angka golput naik lagi menjadi 28,30 persen dan kembali meningkat pada Pilpres 2014 menjadi 30 persen.
Golput sebenarnya adalah hak politik.
Selain tidak dilarang oleh undang-undang, golput juga bukan perbuatan kriminal.
Namun bila seseorang mengajak orang lain untuk melakukan golput itu bisa terkena delik hukum.
Contoh yang dapat terkena delik, pengusaha atau pimpinan perusahaan tidak memberikan kesempatan bagi pekerjanya memakai hak pilih pada hari pemilu, entah dengan memberi kelonggaran waktu masuk kerja atau sekalian libur.
Delik terkait juga dapat dikenakan kepada jajaran penyelenggara pemilu bila terbukti menyebabkan pemilih kehilangan hak pilihnya dalam ranah tugas dan kewenangannya.
Prediksi Golput di Pemilu 2024
Jajak pendapat Litbang Kompas menunjukkan potensi golput sangat mungkin meningkat jika Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 hanya diikuti dua pasangan calon (paslon).
Hal itu nampak pada simulasi dua pasang calon dalam survei yang berlangsung 24 September-7 Oktober 2022.
Baca Juga: Siap Maju Jadi Capres di Pemilu 2024, Anies Baswedan Bicarakan ini Saat Bertemu Gibran
“Terlebih jika ada kelompok besar calon pemilih yang merasa tidak terwakili oleh kandidat yang ada,” ujar peneliti Litbang Kompas Bambang Setiawan dikutip dari Kompas.id, Rabu (7/12/2022).
Ia mengungkapkan potensi golput ada di kisaran 8,9-14,9 persen jika kontestasi perebutan kursi RI-1 hanya diikuti Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto.
“Potensi itu membesar menjadi 10,9-16,5 persen jika yang maju hanya Ganjar dan Anies,” katanya.
Potensi golput terbesar, menurut Bambang, terjadi ketika Pilpres 2024 cuma berisi pertarungan antara Prabowo dan Anies Baswedan, jumlahnya mencapai 12,2-17,8 persen.
Bagaimana denganmu?
Sudah siap untuk menyambut Pemilu 2024 mendatang?
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Jejak Sejarah Golput di Pemilu, Berawal dari Protes di Masa Orde Baru"
(*)