Berbeda dengan orang sakit yang masih diharapkan sembuh, ia tidak terkena kewajiban fidyah. Ia diperbolehkan tidak berpuasa apabila penyakitnya akan semakin parah apabila berpuasa, namun berkewajiban mengganti puasanya di kemudian hari (Syekh Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfah al-Habib, juz 2, hal. 397).
3. Wanita hamil atau ibu menyusui
Kategori ini diperbolehkan meninggalkan puasa apabila dengan ia berpuasa dapat membahayakan kesehatan diri sendiri dan janin.
Mengenai kewajiban fidyah untuk ibu hamil dan menyusui, diperinci sebagai berikut:
Baca Juga: Tata Cara Berbuka Puasa di Bulan Ramadan ala Rasulullah SAW, Jangan Lupa Dahulukan Hal Ini
Pertama, jika ia khawatir keselamatan dirinya atau dirinya beserta anak /janinya, maka tidak ada kewajiban fidyah.
Kedua, jika hanya khawatir keselamatan anak/janinnya, maka wajib membayar fidyah. (lihat Syekh Ibnu Qasim al-Ghuzzi, Fath al-Qarib Hamisy Qut al-Habib al-Gharib, hal. 223).
4. Orang mati
Dalam fiqih Syafi’i, orang mati yang meninggalkan utang puasa dibagi menjadi dua:
Pertama, orang yang tidak wajib difidyahi. Yaitu orang yang meninggalkan puasa karena uzur dan ia tidak memiliki kesempatan untuk mengqadha, semisal sakitnya berlanjut sampai mati. Tidak ada kewajiban apa pun bagi ahli waris perihal puasa yang ditinggalkan mayit, baik berupa fidyah atau puasa.
Kedua, orang yang wajib difidyahi. Yaitu orang yang meninggalkan puasa tanpa uzur atau karena uzur namun ia menemukan waktu yang memungkinkan untuk mengqadha puasa.
Menurut qaul jadid (pendapat baru Imam Syafi’i), wajib bagi ahli waris/wali mengeluarkan fidyah untuk mayit sebesar satu mud makanan pokok untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. (Syekh Nawawi al-Bantani, Qut al-Habib al-Gharib, hal. 221-222).