Dengan memiliki usaha warung kecil-kecilan dan warung bensin eceran, Siti dan kedua suaminya mengaku sering hampir diusir oleh warga.
Warga murka karena status poliandri mereka dan tinggal dalam satu rumah.
"Ada warga yang mengklaim bahwa kami mencemarkan nama kampung. Tapi bagaimana lagi, kami tidak memiliki tempat lain," ujar Somad.
Mereka bertiga mengakui, mereka memaksa diri untuk tinggal bersama meskipun mendapat penolakan dari warga.
Praktik poliandri yang mereka lakukan memang tidak lazim, oleh karena itu wajar jika ada warga yang merasa tidak setuju.
Ki Bungsu Kawangi pun mengakui bahwa apa yang dilakukan oleh pasangan suami dan istri ini tidak masuk akal.
"Jika dikatakan tidak masuk akal, memang tidak masuk akal. Seorang pria memiliki dua istri dan mereka hidup harmonis, itu sulit.
Satu istri saja sudah rumit, apalagi dua suami tidur dalam satu tempat dan tetap harmonis," ujar Ki Bungsu Kawangi.
Somad menceritakan selama hidup bertiga serumah, mereka hidup harmonis dan rukun tanpa ada rasa iri dan cemburu terhadap salah satu pasangan.
Somad dan Abdul menjelaskan, terkadang mereka merasa ingin mengakhiri hubungan tersebut.
Namun yang anehnya, saat mereka bertemu dengan Ibu Siti, perasaan tersebut langsung hilang dan rasa cinta kembali muncul.