Grid.ID – Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menerbitkan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan (Kepmenaker) Nomor 88 Tahun 2023 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja, Kamis (1/6/2023).
Usai penerbitan Kepmenaker tersebut, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Idau Fauziyah mengajak semua pihak, termasuk pelaku usaha, untuk serius mencegah dan menangani kekerasan seksual di tempat kerja.
Pasalnya, menurut Ida, pelecehan seksual adalah tindakan yang tidak dapat ditoleransi. Terlebih, pelecehan seksual yang terjadi di tempat kerja akan mengganggu harmonisnya hubungan industri dengan pekerja.
“Oleh karenanya, pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tempat kerja ini sangat membutuhkan pemahaman, perhatian, dan dukungan dari semua pihak,” kata Ida dikutip dari siaran pers yang diterima Grid.ID, Senin (10/6/2023).
Berdasarkan data Komnas Perempuan, kata Ida, terdapat 389 kasus kekerasan seksual di tempat kerja pada 2021. Jumlah korbannya adalah 411 pekerja. Pada 2022, terdapat 324 kasus kekerasan seksual dengan korban 384 pekerja. Sementara itu, hingga Mei 2023 tercatat sudah ada 123 kasus kekerasan seksual di tempat kerja dengan korban 135 pekerja.
Baca Juga: Ciptakan Tempat Kerja Aman dari Kekerasan Seksual, Kemenaker Terbitkan Kepmenaker No 88 Tahun 2023
“Itu mengapa Kepmenaker ini penting untuk diterbitkan. Jumlah kasus dan korban kekerasan seksual di tempat kerja masih tinggi,” ujarnya.
Berdasarkan survei International Labor Organization (ILO), korban kekerasan seksual di tempat kerja masih didominasi oleh perempuan. Ada 656 orang pekerja perempuan dari total 1.173 responden survei.
Data ILO pada 2022 tersebut mencatat, sebanyak 70,93 persen dari total respinden pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja. Sebanyak 69,35 persen korban mengalami lebih dari satu bentuk kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja.
Sebanyak 77,40 persen bentuk kekerasan dan pelecehan seksual yang dialami bersifat psikologis. Kemudian 50,84 persennya adalah kekerasan dan pelecehan seksual yang berbentuk fisik. “Selain karena tingginya angka kasus dan korban, Kepmenaker ini diterbitkan untuk menyingkronkan dan menguatkan aturan sebelumnya agar pelaksanaan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tempat kerja lebih optimal, serta dapat menjaga hubungan industrial yang harmonis dan produktif,” katanya. Adapun, Kepmenaker ini mengatur hal-hal yang terkait kekerasan seksual di tempat kerja, upaya-upaya pencegahan kekerasan seksual di tempat kerja, pengaduan, penanganan, dan pemulihan korban pelecehan dan kekerasan seksual di tempat kerja, serta pembentukan, fungsi, dan tugas Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja. Dalam Kepmenaker ini, dijelaskan sembilan bentuk kekerasan seksual yang juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yaitu pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik. Sedangkan, baik pelaku maupun korban, yang diatur dalam Kepmenaker tersebut bisa datang dari kalangan pengusaha, pekerja/buruh, dan orang lain yang berada di lingkungan kerja.
Baca Juga: Usut Tuntas Kasus Pelecehan Seksual di Bekasi, Menaker Pastikan Korban Dapat Perlindungan
Upaya pencegahan dalam Kepmenaker tersebut dapat dilakukan dengan memasukkan kebijakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, melaksanakan edukasi kepada para pihak di tempat kerja, meningkatkan kesadaran diri, menyediakan sarana dan prasarana kerja yang memadai, serta mempublikasikan gerakan anti-kekerasan seksual di tempat kerja. “Oleh karenanya, pencegahan dan penanganan kekerasan seksual ini membutuhkan peran semua pihak, dan dalam Kepmenaker ini kami menegaskan kembali peran Satgas Pencegahan dan Penanganan KS di perusahaan yang berperan menyusun dan melaksanakan program dan kegiatan sesuai kebijakan perusahaan,” jelasnya. Ida menambahkan, korban, keluarga korban, rekan kerja korban, dan pihak terkait dapat melaporkan tindakan kekerasan seksual secara daring dan luring kepada Satgas yang dibentuk di perusahaan, Dinas Ketenagakerjaan setempat, Kemnaker, ataupun Kepolisian.
Sedangkan penanganan dilakukan dengan pendampingan terhadap korban sesuai peraturan perundang-undangan; pelindungan terkait pemenuhan hak-hak pekerja, serta sanksi oleh perusahaan dan sanksi pidana sesuai peraturan perundang-undangan. Adapun sanksi yang dapat diberikan perusahaan kepada pelaku tindak kekerasan seksual di tempat kerja dapat berupa surat peringatan, pemindahan atau penugasan ke divisi/bagian/unit kerja lain, mengurangi atau menghapus kewenangannya di perusahaan, pemberhentian sementara (skorsing); dan/atau pemutusan hubungan kerja (PHK). “Kami juga meminta upaya pencegahan dan penanganan ini dilaksanakan secara serius dengan memastikan bahwa pengaduan tersebut ditangani dengan segera dan tanpa diskriminasi,” ujarnya.