Khusus pemilih tuna netra, Betty menyebut bahwa KPU menyiapkan surat suara presiden-wakil presiden dan calon anggota DPD berhuruf braille.
"Itu yang available disiapkan dengan huruf braille. Tapi di sisi lain tidak semua tuna netra bisa baca braille," kata Betty.
"Sehingga kami akan meneruskan terkait dengan membolehkan mereka yang disabilitas atau yang tak mampu untuk didampingi masuk ke bilik suara," sambung eks Ketua KPU DKI Jakarta tersebut.
Sementara itu, bagi pemilih tuna rungu, misalnya, KPU akan melakukan bimbingan teknis kepada Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) cara melayani mereka, lagi-lagi jika KPU mendapatkan data akurat soal keberadaan pemilih disabilitas berdasarkan proses coklit.
"Mereka akan ditepuk pundaknya (tidak dipanggil seperti pemilih pada umumnya). Itu sudah ada mekanisme untuk teman-teman disabilitas (rungu) sepanjang kita ketahui disabilitasnya," kata Betty.
Penggunaan Bahasa Isyarat
Eks Komisioner KPU yang kini menjadi Wakil Ketua Komnas HAM, Pramono Ubaid Tanthowi berharap petugas KPU di lapangan betul-betul memperhatikan jenis disabilitas yang ditemui selama proses pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih di lapangan.
Baca Juga: Jaga Hak Masyarakat untuk Ikut Pemilu 2024, KPU Sediakan TPS Khusus di Lokasi ini
Setiap penyandang disabilitas di dalam DPT TPS tertentu harus ditandai kebutuhannya, untuk nantinya difasilitasi pada hari pemungutan suara.
"Misalnya, di satu TPS ada pemilih manula yang lanjut usia sekali dan pendengarannya berkurang, maka petugas TPS ketika melakukan pengumuman harus pelan-pelan, tidak bisa buru-buru, sehingga bisa didengar pemilih manula ini," ujar Pramono memberi contoh.
"Atau kalau diketahui di satu TPS ada pemilih menggunakan kursi roda, dipastikan TPS-nya tidak lompat parit, lebar pintu masuk TPS-nya bisa masuk kursi roda.
Itu pentingnya kenapa pendataan pemilih betul-betul mengetahui TPS ini berapa disabilitas netra, rungu, dan manulanya, berapa pemilih yang menggunakan kursi roda," ungkapnya.
(*)