Selain itu, Dikta mengaku tak bisa menahan tangisnya saat di rumah sakit.
Lebih tepatnya menahan diri untuk tidak menangis lantaran ia satu-satunya anak laki-laki di keluarga.
Dalam pikirannya saat itu, ia harus menguatkan anggota keluarganya yang lain.
"Pada saat itu aku takut kehilangan temen ngobrol. Takut kehilangan papa, 'Ini nggak ada lagi nih, orang yang se-absurd dia'.
Apa pun yang diobrolin dia selalu ada jawabannya, 'Nanti kalau dia nggak ada, gue ngobrol sama siapa ya?'," jelasnya.
Usai meluapkan kesedihannya, Dikta kembali ke rumah sakit walau perasaannya saat itu masih hancur.
Hal ini pula yang membuat Dikta enggan
menemani di detik-detik ayahnya meninggal.
"Dalam hati, aku ngomong 'Aku nggak mau lihat papa meninggal'. Jadi sebelum dia meninggal aku pamit pulang, habis itu aku lihatin dia lama.
Nggak tahu kenapa hari itu aku feeling dia bakal meninggal. Dan bener, baru setengah jam jalan, terus aku ditelefon 'Mas, balik lagi mas. Papa udah nggak ada'," pungkasnya.
(*)