Grid.ID - Bentara Budaya menghadirkan pameran tunggal dari seniman asal Bali, Putu Sutawijaya, berjudul “Lelampah”.
Pameran ini merupakan hasil dari perjalanan Putu Sutawijaya meneruskan laku lelampah, dengan karakter Tokoh Garuda di Candi Kedaton, Jawa Timur.
Seniman asal Bali ini sudah lama menunjukkan ketertarikannya terhadap Candi Kedaton yang terletak di selatan Probolinggo.
Entah apa yang melintas dalam pandangan batinnya, tiba-tiba preferensi dan referensinya tertuju pada Garudeya di Candi Kedaton.
Siapa yang tidak tahu burung Garuda? Burung yang dijadikan lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia ini memiliki makna simbolis baik secara estetis, historis, mitologis, dan ideologis.
Secara ideologis, merupakan penjabaran dari nilai-nilai Pancasila, sedangkan secara historis merupakan karya rupa adiluhung yang menjabarkan sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia.
Secara mitologis, berkaitan dengan nilai-nilai karakter alam bawah sadar manusia Indonesia yang berkepribadian dalam kebudayaan.
Secara estetis merupakan karya rupa paripurna yang sarat akan nuansa seni, indah secara visual yang menggambarkan cita rasa seni bangsa Indonesia dari generasi ke generasi.
Di zaman sekarang, para generasi muda hanya mengetahui fakta burung Garuda dijadikan lambang negara, tanpa mengetahui asal-usul dibaliknya.
Mengapa burung Garuda? Bagaimana jejak histori burung Garuda? dan dari mana para founding father bangsa Indonesia mendapat inspirasi untuk menjadikan burung Garuda sebagai lambang negara?
Pada kesempatan ini, Sang Maestro seni Putu Sutawijaya membangkitkan niatnya untuk melanjutkan laku lelampahnya.
Lampah dalam bahasa Jawa memiliki arti berjalan. Sehingga, lelampah dapat dipahami sebagai suatu proses perjalanan.
Laku lelampah Putu Sutawijaya tak lain untuk menelisik kembali jejak histori cerita Garudeya dari Candi Kedaton, Probolinggo, Jawa Timur.
Cerita ini bermula ketika Kadru dan Winata, dua istri Begawan Kasyapa meminta anak kepada suaminya.
Kadru ingin seribu anak sedangkan Winata hanya ingin dua anak.
Kemudian, Kasyapa memberikan seribu telur kepada Kadru dan dua telur untuk Winata.
Kemudian, telur milik Kadru menetas lebih dulu dan menghasilkan seribu naga.
Hal itu pun membuat Winata iri, sehingga, ia memecah satu telurnya yang belum waktunya menetas.
Lalu, lahirlah Aruna dalam keadaan belum sempurna. Kondisi itu membuat Aruna marah dan mengutuk ibunya bahwa suatu saat akan menjadi budak Kadru beserta anak-anaknya.
Aruna berpesan agar ibunya menjaga telur yang lain karena akan melahirkan anak yang bisa membebaskan dari perbudakan.
Singkat cerita, Winata pun menjadi budak untuk Kadru beserta anak-anaknya karena tindakan licik dari mereka.
Ketika Garuda menetas, Winata sedang menjalani masa perbudakannya.
Baca Juga: Sambut HUT ke-60, Digelar Kompas Gramedia Festival
Setelah mengetahui ibunya tidak berada di tempat, Garuda mencari dan menemukan Ksrirarnawa.
Garuda hidup bersama ibunya dan mengikuti masa perbudakan dengan tugas menjaga para naga.
Garuda bertanya kepada ibunya mengapa harus melayani Kadru dan anak-anaknya.
Setelah mendapat penjelasan dari ibunya, ia pun bertanya pada para naga untuk menanyakan tebusan apa yang harus diberikan agar ia dan ibunya bebas dari perbudakan.
Para naga pun menjelaskan bahwa tebusannya adalah tirta amerta yang ada di tangan para dewa. Garuda pun menyanggupinya.
Sebelum pergi, ia diberi pesan oleh ibunya bahwa di sebuah pulau terdapat orang-orang kerdil yang jahat.
Dan mereka harus dimakan ketika Garuda merasa lapar.
Di samping itu, ibunya juga berpesan agar tidak memakan brahmana karena ayahnya juga seorang brahmana.
Jika ia memakan brahmana maka lehernya akan merasa panas dan ia harus segera memuntahkannya.
Dan benar saja, ketika sampai di Kucapadwipa Garuda memakan para Candala (orang kerdil), dan tenggorokannya terasa panas karena terdapat brahmana yang ikut termakan.
Sesuai pesan ibunya, Garuda pun memuntahkan kembali apa yang barusan ia telan.
Baca Juga: Gelaran Budaya dan Seni Sambut Peringatan 100 Tahun Koentjaraningrat, Bapak Antropologi Indonesia
Garuda pun melanjutkan perjalanannya. Di tengah jalan, ia bertemu dengan ayahnya, Begawan Kasyapa.
Karena merasa lapar, ia pun meminta makan kepada ayahnya. Kemudian, Begawan Kasyapa memberitahu bahwa nanti Garuda akan bertemu dengan dua orang, Wibhawasu dan Supratika.
Mereka adalah kakak-beradik yang saling mengutuk. Wibhawasu mengutuk adiknya menjadi gajah (gaja), sedangkan Supratika mengutuk kakaknya menjadi kura-kura (kaccapa).
Sehingga, mereka menjadi gaja-kaccapa raksasa. Ketika bertemu di jalan, Garuda segera memakan mereka seperti pesan dari ayahnya.
Kemudian, Garuda menuju ke gunung tempat para dewa menyembunyikan tirta amerta.
Tempat itu sangat ketat penjagaannya, tetapi dengan kesaktiannya Garuda dapat melewati semua rintangan dan membawa pulang tirta amerta.
Garuda dihadang oleh Dewa Wisnu dan Indra untuk membujuknya agar tidak menyerahkan tirta amerta pada para naga, tetapi diserahkan kembali pada para dewa.
Garuda tidak mau menyerahkannya, tetapi Garuda berjanji akan menyerahkan kembali tirta amerta ketika ibunya terbebas dari perbudakan.
Garuda menawari Dewa Wisnu untuk meminta apapun asalkan bukan tirta amerta. Dewa Wisnu pun meminta Garuda untuk menjadi kendaraannya dan hal itu dituruti oleh Garuda.
Setelah sampai di tempat para naga, Garuda menyerahkan tirta amerta itu kepada para naga, namun sebelumnya Garuda berpesan agar para naga bersuci terlebih dahulu karena air itu adalah air suci.
Para naga pun bergegas mandi dan meninggalkan guci berisi tirta amerta.
Baca Juga: Harian Kompas Rilis Koleksi NFT Bertajuk Sembilan Hari yang Menentukan, Intip Isinya
Keadaan ini dimanfaatkan para dewa untuk mengambil kembali tirta amerta sehingga para naga tidak dapat meminumnya.
Para founding father bangsa Indonesia melihat adanya kemiripan alur cerita sejarah bangsa Indonesia dengan perjuangan Sang Garuda.
Indonesia baru saja melepaskan diri dari penjajahan bangsa asing dan masih berhadapan dengan cengkeraman neokolonialisme dan imperialisme.
Sedangkan Garuda sebagai simbol pembebas ibundanya dari perbudakan para naga.
Relief-relief candi yang menceritakan kisah Garudeya ini mengilhami para pendiri bangsa untuk menjadikannya sebagai lambang negara.
Menurut Putu Sutawijaya dan Kriss Budiman, kisah Garudeya biasa ditaruh dalam dua konteks.
Pertama, dalam konteks kehidupan keluarga, Sang Garuda merepresentasikan sebuah keutamaan yaitu nilai bakti kepada ibu.
Kedua, dalam konteks kehidupan bangsa, ia merupakan alegori pembebasan dari penindasan dan pemerdekaan tanah air dari belenggu kolonial.
Putu Sutawijaya meneruskan “Lelampah”, atau perjalanan tafsiriah, melalui sapuan-sapuan visual atas sapaan-sapaan naratif Garudeya.
Bagaimana kita menjalankan dan menjalani kehidupan berbangsa, perjalanan ke-bangsa-an (nation-ness) esok, dilandasi oleh narasi-narasi yang kita bangun bersama kemarin dan hari ini.
Hasil dari laku lelampah Putu Sutawijaya ini melahirkan karya-karya yang akan dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta pada pertengahan bulan September.
Baca Juga: Pameran Keramik Black Symtoms #2: Aksi Reaksi ole Citrus Studio
Dari pameran ini tentunya seniman dan pihak-pihak terkait berharap agar dapat membangkitkan semangat nasionalisme masyarakat Indonesia di era global ini.
Maka dari itu, Bentara Budaya Jakarta mengundang semua #SahabatBentara untuk datang dan menikmati pameran seni ini.
Selain sebagai ruang rekreasi, pameran ini menyajikan wawasan yang sudah seharusnya diketahui oleh semua kalangan.
Sudah semestinya kita sebagai generasi muda terus bangkit dengan semangat nasionalisme untuk mempertahankan kemerdekaan.
Salah satu jalannya dengan mengetahui jati diri atau identitas kita sebagai warga negara Indonesia. Dan hal itu bisa dilakukan dengan memahami jejak histori bangsa ini.
Pameran akan dibuka pada: Kamis, 14 September 2023, pukul 19.00 WIB di Bentara Budaya Jakarta Jalan Palmerah Selatan no.17 Jakarta Pusat, 10270
Pameran berlangsung pada 15-29 September 2023 (pameran TUTUP pada tanggal 28 September 2023), pukul 10.00 - 18.00 WIB
Selain pameran akan digelar pula Artist’s Talk yang akan diselenggarakan pada Sabtu, 16 September 2023 pukul 15.00 WIB – selesai. (*)