Grid.ID - Bentara Budaya menghadirkan pameran dengan judul “Pertemuan” sebagai bentuk apresiasi perjalanan Bentara Budaya selama kurang lebih 40 tahun.
Bentara Budaya telah menjadi wadah untuk para seniman menyampaikan ekspresi melalui karya-kary kesenian.
Tentunya, pameran ini terbuka untuk umum dan tidak memungut biaya bagi pengunjung.
Selama 40 tahun, banyak pertemuan yang terjadi di Bentara Budaya. Pertemuan tersebut direkam dalam berbagai bentuk seperti tulisan, video, maupun foto.
Maka dari itu, pameran “Pertemuan” ini Bentara Budaya mengajak dua puluh seniman muda dan tiga seniman undangan, yaitu:
Agung Manggis
AK Harun
Angga Yuniar S
Bagus Triyono
Danang Lemu
Emma Dessy
Baca Juga: Lelampah: Pameran Tunggal Hasil dari Perjalanan Putu Sutawijaya
Giring Prihatyasono
Harindarvati
Heru Uthantoro
Ifat Futuh
Irwan guntarto
Iskandar Sy
Mahdi Abdullah
Nur Ikhsan
Reza Hasibuan
Sabar Jambul
Sigit Ananta
Baca Juga: Pameran TV Art Kaca Paesan: Analog TV is Dead
Sriyadi Srinthil
Suranto Ipung
Sugiyo
Tumaryanto
Yantoto Warno
Susilo Budi
Seniman-seniman ini akan merespon foto-foto peristiwa dan kegiatan di Bentara Budaya Yogyakarta dalam rentang waktu 40 tahun.
Pameran ini menjadi peristiwa penting bagi Bentara Budaya Yogyakarta untuk selalu mengingat jejak perjalanan yang sudah ditempuh selama ini.
Sebelum datang ke pameran ini, sudah seyogyanya mengetahui kilas perjalanan Bentara Budaya sejauh ini. Bentara Budaya berdiri pada tahun 1982 di Yogyakarta.
Awalnya, kantor Bentara Budaya Yogyakarta beralamat di Jalan Sudirman, dekat dengan lokasi Gramedia saat ini.
Karena adanya perluasan TB Gramedia, kantor Bentara pindah ke Jalan Suroto No. 2 Kotabaru pada tahun 1993.
Awalnya, Bentara Budaya merupakan ruang bagi kesenian-kesenian yang terpinggirkan, terutama untuk kesenian tradisi yang saat itu tidak memiliki wadah untuk menunjukkan kehadiran mereka.
Berangkat dari ruang untuk kesenian yang kurang diperhatikan, Bentara Budaya diuji konsistensinya.
Dan ternyata selama empat puluh tahun lebih Bentara Budaya diterima baik kehadirannya di tengah masyarakat.
Hal itu menjadi pertanda positif dan Bentara Budaya pun tak hanya di Yogyakarta, tetapi juga hadir di Jakarta, Solo, dan Bali.
Perjalanan panjang ini memiliki berbagai catatan penting yang terdokumentasikan dalam bentuk foto-foto.
Pada dasarnya, foto mampu bercerita tentang banyak peristiwa termasuk pertemuan antar seniman dengan masyarakat umum.
Pertemuan-pertemuan ini merupakan peristiwa penting karena akan menjadi sejarah penting bagi kehidupan kesenian kita saat ini.
Begitu juga Bentara Budaya, dari tahun ke tahun selalu melahirkan cerita-cerita baru yang memuat berbagai pandangan dan pikiran para seniman dalam menyampaikan ekspresi melalui karya-karyanya.
Pada awal berdirinya Bentara Budaya, terdapat pameran dua perupa tradisi yang mewakili jamannya.
Dua perupa tersebut adalah Sastro Gambar dari Magelang dan Tjitro Waloejo dari Solo. Mereka melukis karya-karya tradisional, Sastro Gambar memakai kaca sebagai media lukisnya, sementara Tjitro Waloejo melukis di atas kertas dengan tema mitos-mitos pesugihan Jawa.
Dua perupa ini mampu menarik perhatian masyarakat umum, dan memberi banyak pengetahuan bahwa seniman tradisional mampu bertahan dari perubahan zaman.
Baca Juga: Kisah dari Desa: Ceramic Solo Exhibition 2023 oleh Asep Maulana Hakim
Pameran-pameran di Bentara Budaya Yogyakarta saat itu sangat riuh dengan para perupa modern dari berbagai usia seperti Affandi, Bagong Kussiodiarja, Sapto Hudoyo, serta seniman-seniman muda yang bermunculan bersamaan dengan hadirnya ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia).
Kemudian, pada tahun 1983 diadakan pameran Ukir Patung Asmat dan Papua, pameran lukisan Sokaraja, diskusi dan pentas tari Ben Suharto, pentas ludruk garingan Cak Markeso, pentas puisi Hamid Jabbar.
Selanjutnya, tahun 1884 terdapat pameran kuningan dari Tumang, Boyolali.
Pada tahun yang sana juga berlangsung pameran keramik Dinoyo Malang dan pameran lukisan dari Taman Sari Yogya.
Berawal dari pameran di Bentara Budaya, tidak sedikit seniman atau kelompok kesenian yang menjadi kondang namanya dan menjadi pusat perekonomian lokal untuk komunitas kesenian.
Hal ini terjadi pada kerajinan rotan di Trangsan, Sukoharjo, kerajinan payung yang berada di Juwiring, Klaten.
Selain itu, juga terdapat kerajinan kain di Troso, Jepara, serta kerajinan lurik di Cawas, Klaten.
Setelah sepuluh tahun berada di kantor lama dekat TB Gramedia, Bentara Budaya Yogyakarta bergabung dengan kompleks Harian Kompas di Jalan Suroto No. 2 Kotabaru.
Pada periode ini selain memberi ruang seni tradisi, Bentara Budaya juga memberi ruang bagi seniman-seniman muda yang potensial.
Di samping itu, Bentara Budaya Yogyakarta juga memiliki kebiasaan baru dengan menampilkan karya-karya lawasan.
Lawasan ini juga yang menjadikan Bentara Budaya mencetak katalog berbentuk buku.
Baca Juga: Sambut HUT ke-60, Digelar Kompas Gramedia Festival
Buku yang sebenarnya adalah katalog ini diminati masyarakat luas.
Beberapa kegiatan Bentara Budaya Yogyakarta juga berupa satire terhadap kehidupan sosial kita yang semakin lama semakin samar.
Arti pertemuan setelah perpindahan kantor Bentara Budaya Yogyakarta ini juga masih mewadahi aktivitas kesenian nyata yang belum bisa diekspresikan langsung oleh para senimannya.
Salah satu contohnya adalah pameran “Berburu Celeng” karya Djoko Pekik pada tahun 1998.
Pameran satu karya yang hanya berlangsung satu hari ini menjadi catatan penting dalam dunia seni rupa.
Bukan pada harga karya yang mahal, tetapi pada simbol yang mampu menunjukkan pada masyarakat luas bahwa seni rupa mampu membahasakan peristiwa dan kondisi yang terjadi di negeri ini.
Kemudian, pada tahun 2003 ketika era reformasi sudah berlangsung lima tahun kehidupan ternyata tidak membaik.
Banyak peristiwa dan konflik terjadi di Indonesia, harapan untuk hidup lebih baik ternyata makin menjauh.
Pada tahun itu pula Bentara Budaya Yogyakarta mengadakan pameran tentang “Partai Republik Tulang Belulang dengan Presiden Sumanto, manusia kanibal dari Purbalingga”.
Sekali lagi pameran ini merupakan pesan bagi negeri ini kalau situasi jaman tidak sedang baik – baik saja.
Inilah cara Bentara Budaya Yogyakarta dalam menyuarakan suasana batin masyarakat dan secara tidak langsung menjadi ruang pertemuan bagi banyak kepentingan.
Baca Juga: Nobar Offline Laut Bercerita Bersama Leila S Chudori, Dihadiri Penonton Gen Z dan Milenial
Bentara Budaya Yogyakarta mampu menjadi ruang pertemuan antar beberapa unsur setidaknya pertemuan yang terpendam dari diri hati publik dengan karya seni yang mewakilinya.
Makna pertemuan berbagai unsur tersebut dapat menghadirkan suatu kebiasaan tertentu dari sebuah masyarakat.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa Bentara Budaya Yogyakarta menjadi salah satu titik pertemuan para seniman dan berperan membentuk ekosistem seni di Yogyakarta.
Bentara Budaya Yogyakarta mampu menjadi ruang pertemuan antar beberapa unsur setidaknya pertemuan yang terpendam dari diri hati publik dengan karya seni yang mewakilinya.
Salah satu hal yang menjadikan Bentara Budaya sebagai rujukan karena kegiatan-kegiatan yang diadakan dimuat Kompas, bahkan seringkali ada tulisan yang sifatnya feature tentang kegiatan Bentara.
Hal ini ini tentunya sangat menguntungkan seniman yang sedang menggelar pameran.
Banyak sekali cerita dari jejak sejarah perjalanan Bentara Budaya Yogyakarta yang patut diapresiasi dan dikenang kembali.
Pepatah mengatakan bahwa pengalaman adalah guru berharga. Begitu juga Bentara Budaya yang menyimpan sejuta pengalaman.
Yang mana hal itu dapat memberikan insight untuk kehidupan modern saat ini.
Dengan demikian, Bentara Budaya Yogyakarta mengundang #SahabatBentara untuk datang dan menikmati pameran Mikul Duwur Mendem Jero - 2 #Pertemuan.
Pameran akan dibuka pada Jumat, 15 September 2023 pada pukul 19.00 WIB di Bentara Budaya Yogyakarta Jl. Suroto no 2, Kota Baru, Yogyakarta
Pameran ini akan berlangsung pada 16-21 September 2023 pada pukul 10.00-21.00 WIB. (*)