Selain itu, berpotensi pula memunculkan kasus kekerasan seksual karena istri dipaksa melayani kebutuhan seksual suami dalam kondisi lelah bekerja.
"Biasanya kasus ini diceritakan para komunitas di wilayah pesisir (Semarang). Namun, banyak istri (korban) tidak ingin melaporkan," ujarnya.
Alasan Mereka tak melapor, lanjut Citra, lantaran korban merasa kondisi itu bukan KDRT melainkan hanya persoalan biasa antara suami dengan istri.
Padahal jika ditelisik lebih dalam merujuk UU PDKRT, hal itu sudah termasuk kekerasan berupa penelantaran fisik dan psikis.
Kasus itu bisa dilaporkan melalui 16 Pusat Pelayanan Terpadu Kecamatan (PPTK) atau ke lembaga pendamping seperti LRC-KJHAM, LBH-APIK, dan LBH Semarang yang konsen di isu tersebut.
"Lembaga tersebut bisa menerima aduan kasus dalam rumah tangga maupun kekerasan pada perempuan lainnya," terangnya.
Merujuk pada Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) menyebutkan, setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
Dalam pasal tersebut tercantum, ada ancaman pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp15 juta.
Di samping itu, LRC-KJHAM mencatat kasus KDRT tahun 2021 ada 24 kasus, tahun 2022 ada 35 kasus, dan tahun 2023 terdapat 16 kasus sampai bulan Oktober.
Aduan kasus KDRT dilihat dari segi pekerjaan mayoritas berasal dari para pekerja buruh dan pekerja rumah tangga (PRT).
"Adapula dosen, nakes, tapi jumlahnya terbatas," tandas Citra.
Artikel ini telah tayang di TribunJateng.com dengan judul Ternyata Suami Malas Bekerja Bisa Dipidanakan, Ini Ancaman Hukumannya
(*)