Laporan Reporter Grid.id, Irene Cynthia Hadi
Grid.id - Jodoh siapa yang tahu.
Itulah yang terjadi pada penjual ayam geprek bernama Nurani (38) ini.
Nurani merupakan warga Desa Parean Girang, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Melansir dari Tribun Jabar, Nurani ternyata bertemu sang istri pada tahun 2008 silam.
Bukan pertemuan biasa, ia menemukan pendamping hidupnya itu di Pasar Jodoh Indramayu.
Nurani dan sang istri awalnya hanya nongkrong di Pasar Jodoh.
Pria berusia 38 tahun itu akhirnya memberanikan diri untuk berkenalan dengan istrinya yang tatkala itu masih duduk di bangku sekolah.
Sementara itu, Nurani sudah bekerja di Tangerang dan sedang pulang kampung.
"Saya dahulu bertemu dengan istri saya tahun 2008 di Pasar Jodoh ini. Dia lewat, saya juga lewat, terus ya namanya perempuan sama laki ya, pengin kenal," kata Nurani.
Meskipun sudah berkenalan, Nurani mengaku sempat ditolak ketika ingin main ke rumah istrinya.
Ia kemudian meminta nomor HP sang istri.
Tak lama, sang istri juga mencari Nurani ke rumahnya namun penjual ayam geprek itu sudah berangkat lagi ke Tangerang.
Keduanya lalu bertemu kembali, menikah dan dikaruniai 3 anak.
"Semuanya ada tiga anak, tapi meninggal satu saat masih kecil," cerita Nurani.
Lalu, seperti apa penampakan pasar jodoh itu?
Pasar jodoh diketahui berada di Desa Parean Girang, Kecamatan Kandanghaur, Indramayu, Jabar.
Lokasi ini menjadi viral sejak tahun 1990an, yakni ketika banyak wanita dan laki-laki menimba air sumur dan akhirnya berkenalan.
Awalnya, tradisi menimba sumur ini bermula dari adanya kemarau panjang sehingga warga harus mencari sumber mata air di area pasar tersebut yang diberi nama sebagai Temenggung.
Dari situlah, banyak warga yang akhirnya menikah hingga pasar tersebut disebut sebagai Pasar Jodoh.
Selain Pasar Jodoh, ada pula tradisi Ngarot dari Indramayu, Jawa Barat.
Melansir dari Kompas.com, Ngarot merupakan tradisi penyambutan musim tanam sekaligus ajang cari jodoh yang dilakukan warga Desa Lelea, Kecamatan Lelea, Indramayu.
Tradisi ini hanya diikuti oleh para gadis dan pria yang masih perjaka dan dilaksanakan pada hari Rabu antara bulan Oktober dan Desember.
Dalam tradisi ini, para gadis dirias sejak pagi dan rambutnya ditata dengan konde bambu serta dihias bunga kenanga.
Sementara para pria akan mengenakan pakaian serba hitam serta ikat kepala.
Mereka diarak dari rumah kepala desa dan ditonton oleh warga setempat.
(*)