Find Us On Social Media :

Belajar dari Zahid Ibrahim: Kapan Kita Harus Berhenti dan Bertahan?

By Grid., Selasa, 16 Januari 2024 | 16:24 WIB

Zahid Ibrahim memilih untuk hengkang dari kampusnya dan fokus mengerjakan hal lain. Memilih untuk tetap atau bertahan adalah hal berat yang harus dipertimbangkan.

Grid.ID - Saat terjebak dalam bidang yang tidak kita sukai, perasaan ingin berhenti seringkali menjadi rahasia karena kamus kehidupan lebih banyak mengajari kita bahwa ketangguhan adalah tentang seberapa kuat kita bertahan.

Terkadang, pilihan-pilihan hidup yang kita ambil membawa kita pada bidang atau lingkungan yang ternyata tidak kita sukai seumur hidup.

Setidaknya, itulah yang terjadi pada YouTuber dan Podcaster pengembangan diri, Zahid Ibrahim.

Pada 2021 lalu, Zahid Ibrahim adalah mahasiswa Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (FTMD) di Institut Teknologi Bandung yang memutuskan untuk mengundurkan diri dari kuliahnya dan mencari peruntungan jalan lain yang lebih baik.

Sebagai seorang YouTuber dengan konten motivasi dan pengembangan diri, semua orang mempertanyakan kredibilitas motivasi yang ia berikan di channel YouTubenya, karena toh ia tidak bisa memotivasi dirinya sendiri untuk bertahan dalam perkuliahannya.

Namun, selang beberapa bulan dari kabar pengunduran dirinya, ia memberikan penjelasan yang memberikan sudut pandang baru tentang keputusan berhenti dan bertahan dalam suatu bidang, lingkungan kerja, pertemanan, dan sebagainya.

Fenomena ini bukanlah hal yang jarang terjadi. Pernyataan dari psikolog pendidikan, Irene Guntur, menguak bahwa 3 dari 10 mahasiswa Indonesia merasa salah jurusan.

Tidak hanya itu, Nadiem Makarim juga pernah mengungkapkan tentang 80% karir yang dijalani di Indonesia tidak sesuai dengan jurusannya.

Pilihan untuk berhenti atau bertahan memang membutuhkan pertimbangan yang matang.

Kita dapat belajar dari kisah Zahid Ibrahim saat mempertimbangkan untuk berhenti dari hal yang sangat berharga di mata orang lain dan keberaniannya untuk memilih jalan hidup sendiri.

Kenali Red Flag yang Kita Rasakan

Salah satu sinyal yang membuat Zahid akhirnya memutuskan untuk berhenti adalah kenyataan bahwa ia tidak lagi menemukan rasa penasaran untuk mempelajari bidang yang ia jalani sehingga kehilangan dirinya yang gigih dan senang belajar.

Perasaan ini tentu akan berpengaruh pada proses perkembangan diri.

Menanggapi perasaan yang muncul, ia kemudian mendefinisikan bahwa ternyata kekagumannya pada teknik sama dengan kekagumannya pada ilmu kedokteran, perfilman, dan ilmu lainnya, tidak lebih spesial daripada itu.

Penting bagi kita untuk mengenali red flag atau sinyal yang memantik rasa tidak antusias kita terhadap bidang yang kita jalani untuk bisa menavigasi langkah selanjutnya.

Berusaha Maksimal dan Lihat Hasilnya

Saat memutuskan untuk berhenti dari karir yang salah atau jurusan yang ternyata tidak sesuai dengan minat kita, hal yang penting dilakukan adalah berusaha maksimal untuk menyukainya terlebih dahulu.

Hal itu dapat kita lakukan dengan menambah source pengetahuan dan keterampilan kita, dari seminar, membaca buku yang sesuai dengan bidang yang dijalani, dan terus melatih diri.

Kadangkala, hal yang membuat tidak antusias adalah karena ilmu atau bidang tersebut terasa sangat tidak familiar dengan kita dan kita kesulitan dengannya.

Hal ini juga bisa kita lakukan dengan mempertanyakan opportunity cost yang kita bayar jika melanjutkan bidang ini.

Tentu, setiap orang membayar dengan jumlah yang berbeda-beda. Misalnya, opportunity cost yang harus kamu bayar adalah kepuasan hidup atau mental health yang tidak terjaga, atau waktu yang terlalu banyak terpakai untuk memahami bidang ini, atau bentuknya uang yang kamu terus gunakan untuk membayar course dan seminar yang menunjang kamu bertahan di bidang ini.

Setelahnya, kamu bisa mempertanyakan apakah semua opportunity cost tersebut mampu membawa kamu pada tujuan-tujuan hidupmu?

Jadi, bukan berarti setiap kali kita tidak menyukai suatu bidang kita bisa langsung berhenti, berikanlah usaha terbaik untuk menyukainya terlebih dahulu.

Hindari Cacat Logika Sunk Cost

“Tapi aku sudah menghabiskan banyak uang, waktu, tenaga, dan pikiran untuk bisa berada di sini. How could I just let it go?”

Zahid Ibrahim berpendapat bahwa, kita pernah memilih berada di suatu bidang karena prediksi kita bahwa menggelutinya akan memberikan return yang cukup baik.

Namun, saat semuanya tidak sesuai prediksi, waktu, energi, dan emosi yang telah kita salurkan selama ini tidak bisa kembali lagi.

Mereka adalah sumber daya yang sudah terpakai dan tidak bisa dikembalikan lagi meskipun kita bertahan sehingga kita tidak bisa menjadikan itu satu-satu alasan untuk bertahan.

Saat kamu sedang mempertimbangkan untuk berhenti atau bertahan, yang perlu dilakukan adalah memikirkan sumber daya yang dimiliki sekarang dan menavigasikan untuk kesempatan lain yang mungkin lebih baik.

Kita tidak perlu terlalu stress menyalahkan diri sendiri untuk keputusan yang sudah kita buat.

Bagian dari ketangguhan itu juga adalah memahami dan menerima kenyataan, lalu membuat keputusan serasional mungkin untuk langkah yang akan kita ambil selanjutnya, tulisnya pada newsletter miliknya.

Membuka Diri: Bertanya, Berkonsultasi, dan Membaca

Saat berada di fase kebingungan ini, penting untuk membuka diri kepada orang lain.

Zahid Ibrahim memaparkan bahwa ia bertanya dan berkonsultasi dengan 2 tipe orang; yang pernah mengalami hal yang sama namun bertahan dan yang berhenti.

Keduanya penting untuk memberikan sudut pandang dan petuah berdasarkan pengalamannya.

Saat mempertimbangkan hal yang sama, akan sangat baik apabila kamu mendatangi orang-orang demikian, mentor, orang tua, dan pihak yang menurutmu bijaksana untuk mendapatkan secercah evaluasi dari niatmu.

Meskipun keputusan akhir harus lahir dari kata hati, namun sudut pandang lain mungkin membantumu menemukan jalan.

Selain itu, kamu juga meyakinkan diri dengan menerima insight dari buku yang Zahid rekomendasikan, The Dip, karya Seth Godin tentang bertahan dan berhenti.

Dari sana ia mengetahui bahwa saat yang tepat untuk berhenti adalah saat-saat awal kita merasakan red flag tersebut, bukan saat kita sudah terlalu mendalaminya.

Privilege is Real

Saat menceritakan tentang keputusannya untuk berhenti, Zahid Ibrahim menekankan bahwa keputusan yang ia buat berada dalam safety net yang cukup.

Oleh karenanya, penting untuk memahami kemampuan dan kapasitas diri untuk mengimplementasikan keputusan yang kita ambil.

Ada orang-orang yang harus bertahan untuk melanjutkan hidup, juga orang-orang yang harus bertahan karena itulah satu-satunya jalan untuk meraih profesi atau gelar yang diimpikan.

Saat berada dalam posisi ini, akan sangat baik apabila kamu tetap bertahan.

Namun, saat kita punya privilege yang cukup, jangan sampai kita menyesal di kemudian hari karena mengetahui bahwa kita pernah punya pilihan untuk berhenti dan mencari jalan lain tapi tidak kita lakukan hanya karena rasa takut yang jangka pendek.

Mensyukuri Kegagalan dan Menjadi Lebih Bahagia

Bagi Zahid Ibrahim, kegagalan adalah bagian integral dari belajar.

Meskipun ia melihat pengunduran dirinya sebagai kegagalan, namun ia bersyukur pernah mengalami kegagalan itu karena membawanya ke banyak hal yang lebih cocok dengan hidupnya saat ini.

Pada awal pengunduran dirinya, ia sempat merasa down dalam beberapa waktu.

Komentar pedas tentang sosok Zahid Ibrahim yang dianggap tidak bersyukur juga banyak ia baca.

Namun, seperti apa yang ia katakan, keputusannya untuk mengundurkan diri adalah untuk mencoba jalan baru.

Saat ini, Zahid adalah penerima beasiswa di Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang, dengan jurusan yang ia rasa lebih cocok dengannya.

Zahid juga merasa keputusan ini menjadi keputusan besar yang akhirnya membuat ia mampu menyatukan aktivitas sesuai identitasnya sebagai mahasiswa, YouTuber, podcaster, traveler, pelari, dan lain-lain karena kecocokannya pada jurusan membuat ia bisa mengatur waktu dengan seimbang.

Kabar baiknya, ia jadi merasa lebih bahagia, lebih kuat, dan lebih pintar.

Grit atau kegigihan mengajarkan kita bahwa kita bisa menjadi apa saja jika kita berkemauan keras.

Akan tetapi, kita tetap perlu mengetahui sinyal apa yang menjadi penanda kita harus berhenti; untuk mencari cara lain agar tetap bisa bertahan, atau mencari jalan lain untuk memulai cerita baru.

Cerita pengunduran diri yang dialami Zahid dapat memberikan pelajaran bagi kita bahwa dalam proses menemukan sesuatu yang tepat bagi kita, tidak apa-apa untuk mundur satu langkah dan berproses lebih lama daripada orang lain.

Bahwa kesalahan dalam memilih karir atau jurusan bukanlah sebuah kegagalan, dan aksi nyata kita untuk menemukan jalan yang lebih tepat adalah upaya paling istimewa yang bisa kita berikan untuk diri kita.

Pada akhirnya, tujuan yang kita capai adalah merasakan pertumbuhan diri yang lebih baik, berkat keputusan yang berani dan penuh pertimbangan.

Juga berkat kegigihan dalam belajar bahkan dari kesalahan dan kegagalan. (*)