Laporan Wartawan Grid.ID, Ragillita Desyaningrum
Grid.ID – Organisasi Perburuhan Internasional atau International Labour Organization (ILO) menyoroti persoalan pekerjaan perawatan tidak berbayar di Indonesia.
Pekerjaan perawatan sendiri merupakan semua pekerjaan yang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan orang lain, baik orangtua, anak-anak, lansia, disabilitas, dan lainnya.
Tak dapat dipungkiri bahwa perempuan lebih banyak menanggung pekerjaan perawatan ini dibandingkan laki-laki.
Karena itu, ILO dan sebuah media perempuan membuat eksperimen sosial perawatan pada akhir tahun 2023 lau.
Eksperimen ini diproduksi menjadi sebuah film dokumenter pendek dan kemudian diputar di Taman Ismail Marzuki pada Kamis (18/1/2024).
Film berdurasi 20 menit ini mendokumentasikan eksperimen sosial yang dilakukan lima partisipan perempuan dengan latar belakang berbeda-beda.
Mereka kemudian mencatatkan kerja-kerja perawatan dan pengasuhan yang mereka lakukan di rumah tangga mereka selama seminggu.
Kerja perawatan ini termasuk mengurus anak, orangtua lansia, serta kerja domestik lainnya.
Hasil dari pencatatan tersebut lalu diolah menjadi data dan dibandingkan dengan aturan jam kerja di Undang-Undang Cipta Kerja, yaitu 40 jam per minggu.
Para partisipan pun mengisi berapa pendapatan saat ini atau penghasilan terakhir jika sudah tak bekerja, untuk mendapatkan valuasi dari kerja perawatan yang mereka lakukan.
Hasilnya, kelima partisipan ini melakukan kerjaan perawatan lebih dari 100 jam, dan bahkan hingga lebih dari 400 jam dalam seminggu.
Jika divaluasi, kerja-kerja yang dilakukan oleh kelima partisipan ini setara dengan 64 hingga 258 persen dari gaji mereka saat ini atau gaji mereka terakhir kali ketika bekerja.
Baca Juga: Diskon Seru Sambut 39 Tahun Elex Media: Joyful Inspirations
Penemuan ini menjadi penting, sebab selama ini kerja perawatan seringkali dianggap tidak berharga dan tidak penting.
“Walaupun perempuan melakukan pekerjaan perawatan, tapi itu dianggap biasa. Sehingga rekognisi terhadap pekerjaan perawatan sendiri masih sangat kurang bahwa itu pekerjaan bernilai dan produktif,” kata Early D. Nuriana, Koordinator Program ILO untuk Pekerjaan Perawatan.
Menurut Early, hal ini juga tidak luput dari konstruksi sosial yang sudah terbentuk sejak berabad-abad lamanya.
“Apa yang terbentuk di dunia kita bahwa dominasi pekerjaan perawatan dilakukan oleh dominasi perempuan karena memang ada konstruksi sosial yang sudah mengakar lama,” lanjutnya.
Karena itulah Early merasa penting untuk memvaluasi kerja-kerja perawatan, terutama dari sisi jam kerja, dan mengkonversi jumlah kerja tersebut dengan gaji rutin yang diterima dari pekerjaan atau berdasarkan upah minimum yang berlaku.
Hal ini guna membuktikan bahwa kerja perawatan itu sangat penting, bernilai, dan produktif.
“Dengan mengkonversikan jam kerja perawatan yang dilakukan per hari, per minggu hingga per bulan dalam bentuk pendapatan akan menyadarkan betapa kerja perawatan ini sangat memiliki nilai ekonomi, yang selama ini dianggap sebagai pekerjaan yang tidak produktif dan tidak perlu berbayar,” jelas Early.
Ia melanjutkan, kesadaran akan nilai ekonomi dari pekerjaan perawatan ini dapat secara bertahap mengubah persepsi dan pola pikir masyarakat tentang pentingnya kerja perawatan.
Pekerjaan ini juga sangat penting untuk kesejahteraan semua individu dalam keluarga dan produktivitas bagi pekerjaan laki-laki dan perempuan.
Hasil dari eksperimen sosial ini juga semakin menegaskan survei ILP mengenai persepsi masyarakat terhadap pekerjaan perawatan.
Dalam survei 2023 itu didapati, sebagian besar responden perempuan (67,3 persen) menuturkan, tidak merasa memiliki jam kerja yang lebih panjang dalam melakukan pekerjaan perawatan dibandingkan laki-laki.
Kendati survei juga memperlihatkan 61,6 persen responden laki-laki memiliki istri atau saudara perempuan yang menanggung beban ganda, namun 65,6 persen tidak bersedia membayar orang lain untuk membantu pekerjaan perawatan.
Baca Juga: Tokopedia Ungkap Tren Belanja Online Produk Kecantikan dan Perawatan Diri Sepanjang 2023
Sementara responden perempuan yang memiliki beban ganda mencapai 79,3 persen. Namun, ironisnya, 78,3 persen menolak membayar orang lain untuk membantu pekerjaan perawatan.
“Karenanya melihat hasil survei terbaru dari ILO dan eksperimen sosial ini, menjadi sangat krusial bagi kita untuk meningkatkan kesadaran kritis Masyarakat untuk mengurangi beban perawatan kepada perempuan dan mulai meningkatkan redistribusi pekerjaan kepada pekerja yang berbayar atau meningkatkan kebijakan pemerintah dalam sistem jaminan sosial,” tegas Early.
Dalam diskusi bersama pihak-pihak terkait, hadir pula Eko Novi Ariyanti, Asisten Deputi Pengarusutamaan Gender Bidang Sosial dan Budaya di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; Diahhadi Setyonaluri, Peneliti dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat di Universitas Indonesia; dan Wita Krisanti, Executive Director Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE).
Berikut beberapa beberapa temuan kunci dari eksperimen sosial tersebut:
1. Jumlah Jam Kerja Perawatan yang Melebihi Jam Kerja Berbayar
Temuan dari eksperimen sosial ini sebanyak 4 dari 5 partisipan memiliki jam kerja perawatan di atas 40 jam per minggu.
Padahal dalam UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 mengatur, jam kerja untuk pekerja di Indonesia maksimal 7 jam per hari atau 40 jam per minggu.
Dalam “Long working hours can increase deaths from heart disease and stroke, say ILO and WHO” (2021) disebutkan, jam kerja panjang 55 jam seminggu telah memicu 745.000 kematian akibat penyakit kardiovaskular pada 2016.
Mereka yang overworked juga lebih rentan terkena risiko stroke 35 persen dan penyakit jantung 17 persen, ketimbang mereka yang bekerja maksimal 40 jam seminggu.
2. Mayoritas Partisipan Sudah Menganggap Kerja Perawatan Penting, tapi…
Kelima partisipan sebenarnya sudah ada kesadaran bahwa kerja perawatan sangat penting dan membebani perempuan.
Namun, masih ada bias gender yang mewarnai pemahaman mereka.
Misalnya, yang paling kentara, kerja perawatan bernilai ekonomi tapi sebaiknya perempuan yang melakukannya karena lebih baik kualitas kerjanya ketimbang laki-laki.
Atau kerja perawatan anak terhadap orangtua juga merupakan wujud bakti dan balas budi.
3. Mayoritas Tak Mendapat Dukungan Cukup
Kelima partisipan mengaku tidak dapat dukungan yang cukup, baik secara fisik maupun mental.
Untuk itu, Early dari ILO menegaskan perlunya berbagai dukungan baik dari perusahaan maupun dari sistem jaminan sosial.
“Selain mengakui kerja perawatan sama pentingnya dan bernilai produktif dengan pekerjaan-pekerjaan lain, perlu adanya pengakuan terhadap pekerjaan-pekerjaan perawatan yang tidak berbayar melalui sistem jaminan sosial, seperti cuti berbayar untuk melakukan perawatan keluarga, sehingga perempuan masih dapat terus bekerja dan berpenghasilan,” jelasnya.
Dukungan-dukungan ini dapat meningkatkan partisipasi kerja perempuan yang saat ini berkisar 54,42 persen menjadi 70 persen sesuai dengan target Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2045.
(*)