Find Us On Social Media :

Dibebankan Pekerjaan Perawatan Anak hingga Lansia, Perempuan Pertaruhkan Kesehatan Mentalnya

By Ragillita Desyaningrum, Kamis, 18 Januari 2024 | 20:00 WIB

Organisasi Perburuhan Internasional atau International Labour Organization (ILO) menyoroti persoalan pekerjaan perawatan tidak berbayar di Indonesia.

Laporan Wartawan Grid.ID, Ragillita Desyaningrum

Grid.ID – Kerja perawatan merupakan semua pekerjaan yang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan orang lain, baik orangtua, anak, disabilitas, dan lainnya.

Karena konstruksi sosial yang ada, pekerjaan perawatan lebih sering diasosiasikan dengan perempuan dibandingkan lelaki.

Namun, berdasarkan sebuah survei, masih ada banyak perempuan yang tidak menyadari bahwa pekerjaan perawatan yang mereka lakukan adalah sebagai bentuk dari kerja.

Kebanyakan orang juga belum bisa merekognisi bahwa kerja perawatan adalah pekerjaan sungguhan, bahkan bagi perempuan sendiri.

Mereka menganggap bahwa pekerjaan ini merupakan bagian dari peran mereka sebagai seorang anak, istri, ataupun ibu.

Ironisnya, masih ada banyak orang yang menganggap bahwa pekerjaan ini tidak bernilai dan tidak produktif.

Padahal kerja perawatan sebenarnya menyita waktu yang sangat banyak dan bernilai tinggi jika dikonversikan.

Selain itu, kerja perawatan juga membuat perempuan harus mempertaruhkan kesehatan mentalnya.

Baca Juga: Eksperimen Sosial Perawatan: Perempuan Bekerja 100 Jam per Minggu Tapi Dianggap Tidak Produktif, ILO: Ada Konstruksi Sosial yang Mengakar

Riris, seorang wanita berusia 53 tahun, yang merupakan salah satu dari lima partisipan dalam sebuah eksperimen sosial yang dilakukan oleh International Labour Organization (ILO) alias Organisasi Buruh Internasional dengan sebuah media perempuan mengatakan demikian.

Ia bercerita bahwa ia harus pensiun dini demi mengurus ayahnya yang sakit dan itu sudah berlangsung selama tiga tahun.

Kebanyakan orang hanya fokus pada kerja perawatan yang ia lakukan merupakan bentuk baktinya kepada orangtua.

Hal itu sebenarnya tidak disalahkan Riris, namun ia menyebut bahwa banyak orang yang lupa bahwa ia harus mempertaruhkan kesehatan mentalnya demi mengurus orangtua.

“Menurut saya betul kalau ngurus orangtua adalah ladang amal ibadah, dapat pahala, bakti. Tapi orang kadang lupa bahwa untuk mengurus orangtua dalam usia senja, usia lansia, itu banyak yang nggak sadar bahwa kita mempertaruhkan kesehatan mental kita,” kata Riris dalam diskusi yang digelar di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Kamis (18/1/2024).

Riris tak memungkiri bahwa rasa capek kerap ia rasakan, baik secara fisik maupun mental.

Karena sering berinteraksi dengan ayahnya, gesekan-gesekan juga kerap tak terhindarkan.

Dalam menghadapi kejadian seperti ini, Riris biasanya berusaha untuk menjauh dari ayahnya untuk membuang emosi negatifnya.

Ia mengaku akan pergi ke kamar mandi hanya untuk menangis dan menenangkan dirinya.

Baca Juga: ILO Luncurkan Hasil Survey Soal 'Pekerjaan Perawatan Tanggung Jawab Perempuan atau Bersama?'

“Biasanya saya kalau lagi ada di fase ini, tabrakan sama bapak saya, saya biasanya pergi dulu menjauh. Dalam arti, saya memang harus buang emosi saya, kadang-kadang saya lari ke kamar mandi cuman buat nangis, cuman buat ngeluarin emosi saya. Saya minum, nanti kalau saya sudah tenang, saya pegang bapak saya lagi,” ceritanya.

Ia bahkan mengaku pernah pergi ke hipnoterapis demi menjaga kesehatan mentalnya Dalam mengurus orangtuanya.

Hipnoterapis kemudian menyebutkan bahwa kerja perawatan yang dilakukan Riris tak bisa dilakukan secara terus menerus tanpa libur.

“Saya sampai ke hipnoterapis, itu dibilang ‘Lu nggak bisa berbulan bulan ngurus orangtua lo tanpa ada cuti’. Kalau orang kerja kantoran tuh kan ada cuti ya. Saya tuh minimal sebulan satu atau dua hari saja saya minta me time, istirahat,” jelasnya.

Kejadian pada Riris ini sangat menyadarkan kita bahwa kerja perawatan bukanlah pekerjaan yang mudah.

Karenanya, dibutuhkan rekognisi bahwa pekerjaan ini merupakan pekerjaan yang bernilai, produktif, dan membutuhkan skill tinggi.

Adanya eksperimen sosial perawatan terhadap lima perempuan sebagai partisipan pun menjadi salah satu cara yang ditempuh ILO.

Dalam eksperimen ini, kelima partisipan diminta untuk mencatatkan kerja-kerja perawatan dan pengasuhan yang mereka lakukan di rumah tangga mereka selama seminggu.

Kerja perawatan ini termasuk mengurus anak, orangtua lansia, serta kerja domestik lainnya.

Temuan dari eksperimen sosial ini sebanyak 4 dari 5 partisipan memiliki jam kerja perawatan di atas 40 jam per minggu.

Jika divaluasi, kerja-kerja yang dilakukan oleh kelima partisipan ini setara dengan 64 hingga 258 persen dari gaji mereka saat ini atau gaji mereka terakhir kali ketika bekerja.

Menurut Early D. Nuriana, Koordinator Program ILO untuk Pekerjaan Perawatan, dalam menyelesaikan isu perawatan yang kompleks, satu solusi saja tidak cukup.

Dibutuhkan koordinasi dan kerja sama berbagai pihak dalam menciptakan solusi yang bisa menyejahterakan semua.

Nah, data-data tersebut merupakan salah satu langkah awal yang penting dalam mengupayakan rekognisi.

Dengan demikian, persepsi masyarakat terhadap kerja perawatan bisa berubah dan menganggap pekerjaan ini sangat bernilai.

“Kita harus bertahap, kenapa dari angka dan hubungan dengan jam kerja dan gaji, paling tidak ada kesadaran dulu. Walaupun nggak mudah. Tapi kita harus mulai dari situ, itu yang membuat kita bisa mulai menghargai bahwa ini pekerjaan produktif, bernilai, butuh jam kerja, dan memiliki nilai ekonomi,” pungkas Early.

(*)