Grid.ID - Kondisi rumah Cendana usai Soeharto meninggal dunia kini jadi sorotan.
Rumah Cendana kini kondisinya memprihatinkan padahal dulu jadi kebanggaan Soeharto.
Intip kondisi rumah Cendana sekarang usai Soeharto meninggal dunia.
Melansir dari Tribunnews.com, Tempat tinggal Cendana yang sebelumnya dihuni oleh Soeharto dan keluarganya menampilkan aura militer yang sangat kuat.
Tempat tinggal Cendana itu terletak di Jalan Cendana nomor 6-8, Menteng, Jakarta Pusat.
Saat ini, rumah bersejarah tersebut tampak sunyi tanpa penghuni seperti rumah yang ditinggalkan.
Tempat tinggal Cendana memiliki warna cat hijau yang khas militer yang menghiasi sebagian dari dindingnya.
Selain warna cat, desain arsitektur tempat tinggal Cendana juga menampilkan sentuhan militer yang kuat.
Satu-satunya perbedaan terletak pada bagian pagar depan yang memiliki panjang lebih dari 20 meter. Pagar depan rumah sang jenderal hanya berupa teralis besi setinggi 1,5 meter yang dicat dengan warna kuning.
Sebelumnya, pagar rumah milik Presiden Republik Indonesia ke-2 itu dicat dengan warna putih.
Berjalan sekitar 10 meter dari pintu masuk utama, terdapat sebuah pos penjagaan yang berdiri tegak dan didominasi oleh warna cat hijau militer.
Pos tersebut memiliki bentuk yang mirip dengan pos penjagaan di markas-markas militer.
Empat tiang setinggi sekitar 2,5 meter berdiri tegak untuk menopang keempat sisi atap pos penjagaan itu.
Di dalam pos, terdapat sebuah meja panjang setinggi sekitar 1 meter yang digunakan oleh petugas penjaga.
Di halaman aspal depan rumah, terparkir enam mobil. Termasuk di antaranya adalah sedan swift, dua unit Kijang 1800 cc, Innova, minibus SUV Escudo, dan All New Xenia dengan plat nomor B 805 EVE yang terparkir membentuk formasi seperti siku.
Dua pohon Beringin yang lebat daunnya, menjadi saksi bisu dari perjalanan hidup sang pemilik rumah, masih berdiri tegak di taman kecil di depan rumah.
Sementara itu, atap rumah terbuat dari genteng. Namun, warna oranye pada bagian atap rumah sang jenderal terlihat pudar dan ditumbuhi lumut.
Tidak banyak detail yang terlihat dari depan rumah. Hanya terdapat kandang burung yang dicat putih, dengan lebar sekitar 1 meter, berdiri di sudut kanan depan rumah.
Cat putih pada rangka kandang terlihat sudah pudar.
Mengintip ke bagian atap rumah bagian belakang, tampak sebuah bangunan dengan dua lantai, memiliki arsitektur yang serupa dengan rumah utama dan warna dinding yang sama.
Jalur kendaraan selebar 3 meter membentang dari pos jaga hingga ke depan lobi utama rumah. Dua pintu utama berbahan kayu cokelat muda terbuka di depan lobi, seolah menanti kedatangan para tamu.
Namun, pada sore itu, tidak ada seorang pun tamu yang datang ke rumah tersebut.
Kesunyian dan kegelapan. Itulah yang dirasakan saat pertama kali menginjakkan kaki di halaman rumah tersebut.
Saat ini, rumah Cendana yang dulunya menjadi pusat pengambilan keputusan pada masa pemerintahan Soeharto, sudah ditinggalkan pasca wafatnya Soeharto pada 27 Januari 2008.
Tidak ada satu pun dari enam anak Soeharto yang tinggal di rumah bersejarah itu.
Profil Presiden Soeharto, Bapak Pembangunan yang 32 Tahun Berkuasa
Melansir dari Kompas.com, Soeharto, yang dikenal sebagai Bapak Pembangunan Nasional, adalah Presiden kedua Republik Indonesia.
Menurut Perpustakaan Nasional RI, Soeharto lahir di Kemusuk, Yogyakarta, pada tanggal 8 Juni 1921.
Dia berasal dari keluarga sederhana; ayahnya, Kertosudiro, adalah seorang petani yang juga bertugas sebagai pembantu lurah dalam pengaturan irigasi sawah desa, sedangkan ibunya bernama Sukirah.
Soeharto mulai bersekolah pada usia 8 tahun. Awalnya, dia belajar di Sekolah Dasar (SD) Puluhan, Godean, sebelum pindah ke SD Pedes di Kemusuk Kidul.
Namun, Kertosudiro kemudian memindahkannya ke Wuryantoro, di mana dia tinggal bersama saudara perempuan ayahnya.
Karena kondisi politik yang tidak stabil setelah peristiwa G-30-S/PKI, Soeharto diangkat sebagai Pejabat Presiden melalui Sidang Istimewa MPRS pada Maret 1967.
Setahun kemudian, pada Maret 1968, dia resmi menjadi Presiden kedua RI. Soeharto memerintah selama lebih dari tiga dekade dan terpilih melalui enam pemilihan umum.
Selama 32 tahun masa jabatannya, Soeharto melaksanakan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), yang dimulai pada 1 April 1969 dan berakhir pada 1994.
Tujuan Repelita adalah memenuhi kebutuhan dasar dan infrastruktur, dengan fokus pada sektor pertanian.
Melalui program ini, Soeharto menginisiasi pembangunan di berbagai bidang, termasuk pendidikan, kesehatan, industri, transportasi, dan pengendalian banjir.
Sebagai pengakuan atas prestasinya dalam pembangunan, Soeharto diakui sebagai Bapak Pembangunan Indonesia pada tahun 1983.
Dia mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 sebagai respons terhadap tekanan dari masyarakat yang menuntut pengunduran dirinya.
Setelah itu, kesehatannya semakin menurun. Pada awal Januari 2006, ia dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan, dan pada Minggu, 27 Januari 2006, Soeharto meninggal dunia pada usia 87 tahun.
Atas keberhasilannya dalam program Keluarga Berencana (KB), pada tanggal 8 Juni 1989, Soeharto menerima Penghargaan Kependudukan dan KB tertinggi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Sebelumnya, pada 2 Desember 1988, ia juga menerima Penghargaan Global Statesman in Population Award dari The Population Institute, sebuah lembaga independen di Washington DC, Amerika Serikat.
(*)