Layanan joki Strava ini tentu saja menyasar pengguna media sosial yang ingin meningkatkan reputasi online mereka, tanpa perlu melakukan serangkaian usaha – olahraga - yang sebenarnya.
Fenomena joki Strava ini bisa jadi cerminan dari budaya pamer yang sebenarnya lumrah bagi pengguna media sosial.
Hal ini dilihat sebagai upaya untuk memperoleh validasi sosial, tanpa peduli dengan proses dan kerja keras yang seharusnya benar-benar ditempuh.
Fenomena joki Strava ini tentu menuai pro dan kontra, bahkan dari kalangan selebritas yang juga penggemar olahraga.
“Kreatif juga bisnisnya ya, yang pesen siapa dan buat apa ya?” ujar musisi Jevin Julian.
Bahkan, atlet lari asal kota Malang, Rahmad Setiabudi mengunggah Instagram story yang menyindir fenomena ini.
Maklum, Rahmad Setiabudi adalah salah satu atlet muda yang kerap naik podium dan berlari dengan kecepatan tinggi.
“Terima jasa joki. Minat DM wakakakkak,” sindir Rahmad Setiabudi.
Bahkan, pebisnis muda sekaligus dokter yang terkenal di kalangan anak muda, dr.Tirta juga membuat candaan soal joki Strava.
“Open joki Strava. Kelebihan, bisa lari di berbagai kota yang penting ada SACnya, sepatu bisa ganti-ganti terus (bonus flexing),”
“Free content biar bukti seolah-olah kalian lari beneran (tangan gak akan terlihat). Rate 1 juta/Km. Minat kabari,” sindir dr.Tirta.
Fenomena joki Strava ini tentu saja menuai pro dan kontra, tak sedikit pemilik akun Strava ‘tulen’ yang kesal dengan fenomena ini lantaran bisa merusak sportifitas dan kejujuran dalam berolahraga. (*)