Laporan Wartawan Grid.ID, Fidiah Nuzul Aini
Grid.ID - Erina Gudono kini kembali jadi sorotan publik.
Bagaimana tidak, Erina Gudono nekat ikut kirab malam satu suro meski sedang hamil besar.
Aksi istri Kaesang Pangarep itu sontak bikin netizen deg-degan.
Ada apa gerangan?
Hal itu bisa dilihat melalui akun Instagram @soloinfo, Minggu (7/7/2024).
Dalam unggahannya, akun tersebut membagikan suasana kirab malam satu suro yang diadakan di Solo.
Pada kirab malam satu suro tersebut terlihat Kaesang Pangarep dan Erina Gudono yang terpantau ikut di dalam barisan.
Kaesang Pangarep tampak ganteng dan ganteng dalam balutan beskap berwarna hitam serta blangkon di kepalanya.
Sementara, Erina Gudono tampil anggun dalam balutan kebaya hitam serta konde bak puteri Keraton.
Keduanya ikut dalam rombongan kirab malam satu suro tersebut.
Putra bungsu Jokowi itu bahkan rela berjalan tanpa pakai alas kaki.
sontak unggahan tersebut langsung dibanjiri komentar dari para netizen.
Ada netizen yang deg-degan melihat aksi Erina Gudono yang terpantau ikut kirab malam satu suro.
"Mau menyemarakkan event wlp lg hamil tp malah ngelanggar aturan, mending nunggu di pendopo aja drpd capek n nabrak aturan gini," tulis akun @hiddengempi
"Ampun sayah-sayah bu Kaesang baru hamil. Alon-alon mawon nggih," tulis akun @nanul_hardjono
"Semngat mb erina yg jalan..hati-hati," tulis akun @sar1.putri0695
"Mba @erinagudono Ati2 nek capek lereno mba sukur2 di gendong mas @kaesangp," tulis akun @shitagrosirkosmetik
"Mb erina lg hamil....naik kereta kencana aja mba," tulis akun @shelomita_heri
"Aturan diterabas. Nek alesane lg hamil yo kudune nunggu wae ning keraton, kan mesti dkancani ajudan aman," tulis akun @astariwijaya92
Melansir dari Kompas.com, "Malam satu Suro tidak boleh keluar rumah." Itulah salah satu larangan yang sangat diyakini dalam budaya masyarakat Jawa.
Masyarakat Jawa meyakini bahwa keluar rumah tanpa tujuan jelas pada malam satu Suro dapat mendatangkan kesialan dan hal-hal buruk.
Diketahui bahwa malam satu Suro menandai awal bulan pertama dalam penanggalan Jawa.
Peringatan ini jatuh pada malam sebelum 1 Muharam dalam kalender Hijriah, dimulai setelah Maghrib.
Tahun ini, malam satu Suro jatuh pada Sabtu malam (6/7/2024).
Pengamat budaya dan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS) Tundjung W Sutirto menjelaskan bahwa larangan keluar rumah pada malam satu Suro adalah mitos.
Menurutnya, masyarakat Jawa meyakini bahwa malam satu Suro adalah waktu yang sakral dengan aura mistis, sehingga muncul berbagai mitos, salah satunya tidak boleh keluar rumah.
"Kalau keluar rumah akan sial karena diyakini akan bertemu dengan pasukan dari Nyi Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan) yang tengah menuju ke keraton atau ke Gunung Merapi," kata Tundjung, dikutip dari pemberitaan Kompas.com (16/7/2023).
Selain larangan keluar rumah, mitos malam satu Suro yang banyak diyakini adalah tidak boleh mengadakan pernikahan dan pindah rumah.
Ia menjelaskan bahwa semua mitos malam satu Suro yang diyakini oleh masyarakat Jawa berfungsi sebagai pengendalian diri.
"Semua mitos malem satu Suro adalah pantangan untuk bersenang-senang. Tuntunan yang diwarisi para leluhur adalah sebuah cipta, rasa, dan karsa, bagaimana terjadinya penanggalan Jawa yang merupakan penggabungan kalender Islam dengan Jawa (Hindu)," jelas dia.
Tundjung menjelaskan bahwa perkembangan mitos malam satu Suro tidak boleh keluar rumah terjadi secara akumulatif, sesuai dengan konteks zamannya dan dianut oleh pemangku kebudayaan saat itu.
Dalam konteks mitos larangan keluar rumah saat malam satu Suro, awalnya berasal dari "penyakralan" masyarakat Jawa terkait penggabungan kalender Islam dan Jawa (Hindu) yang melatarbelakangi terjadinya malam satu Suro.
"Itu termasuk mitos yang menyakralkan pergantian tahun baru Jawa," ujarnya.
"Momentum penanggalan yang digaungkan itu diyakini sebuah momentum yang istimewa, sehingga masyarakat menganggap malam satu Suro sakral, karena adanya penggabungan itu akan menentukan perhitungan," lanjut dia.
Sifat malam satu Suro yang sakral membuat masyarakat Jawa sebagai pelaksana budaya, "meluhurkan" pergantian tahun dengan aktivitas spiritual.
Dengan begitu, muncul mitos untuk tidak bepergian jauh tanpa tujuan, tidak menyelenggarakan pernikahan, tidak pindah rumah, dan tidak keluar rumah pada malam satu Suro.
"Kalau dicari mulai kapan, tentu sejak Sultan Agung menciptakan penggabungan kalender Saka dengan Islam yang dilakukan pada hari Jumat Legi, yaitu saat pergantian tahun baru Saka 1555 yang bertepatan dengan tahun baru Hijriah 1 Muharam 1043 H dan 8 Juli 1633 M," terang Tundjung.
(*)