Find Us On Social Media :

Perjuangan Heroik Ruslan Menyelamatkan Habitat Kakatua Jambul Kuning yang Hampir Punah

By Grid., Senin, 15 Juli 2024 | 13:05 WIB

Ruslan dan teman-teman

Grid.ID - Pulau seluas 22.537 hektar ini dikenal dengan keelokan alamnya. Beragam flora, fauna serta keindahan lautnya membuat para selebritas dunia mulai putri Inggris Lady Diana, petenis dunia Sharapova, hingga pesepakbola David Becham sempat berkunjung kesana.

Namun, belakangan keindahan pulau beserta habitat yang ada di dalamnya makin memudar. Selain terjadinya pembalakan hutan secara liar juga burung kakatua kecil jambul kuning (cacatua sulphurea occidentalis) yang menjadi salah satu ikon di ambang kepunahan akibat perburuan. Berikut hasil reportase Gandhi Wasono selama 4 hari di pulau yang masuk wilayah Nusa Tenggara Barat tersebut.

Pertengahan bulan Juni 2024 lalu sinar matahari pagi menembus sela daun dan ranting pepohonan hutan Desa Labuhan Aji, Pulau Moyo, Nusa Tenggara Barat (NTB). Kaki Ruslan dengan lincah berjalan diantara rerimbunan. Sesekali tangan kanannya yang menghunus golok mengayunkan ke kiri dan kanan menebas ranting yang menghalangi laju jalannya. Sambil berjalan meliuk-liuk menghindari pepohonan wajahnya mendongak, tatapan matanya yang tajam mengawasi arah celoteh burung yang berlompatan dari satu dahan ke dahan lainnya. “Nah, itu dia sarang kakatua kecil jambul kuning,” kata Ruslan (50) sambil tangannya menunjuk ke batang pohon binong (tetrameles nudiflora) yang salah satu sisinya berlubang yang menjadi “rumah” kakatua.

Baca Juga: 5 Arti Mimpi Ikan Koi, Siap-siap Ada Kabar Baik Ini dan Banjir Keberuntungan dalam Hal Cinta

Pada batang pohon bagian bawah dimana sarang berada ditulis namanya dengan cara dipahat menggunakan pisau. “Kalau sudah ada nama saya tertera seperti ini para pemburu liar tidak bakal berani naik untuk menjarah anakan burung,” tegas bapak tiga orang anak tersebut menjelaskan tujuan menyematkan namanya di batang pohon sebesar pelukan orang dewasa tersebut.Ruslan atau yang di kampungya biasa dipanggil Leo, adalah salah satu petugas Masyarakat Mitra Polhut (MMP) di Tanaman Nasional Moyo Satonda, NTB. Peran MMP cukup vital karena keterlibatannya ikut menjaga kelestarian flora dan fauna di hutan tersebut.

Sebagai petugas MMP kecekatan dan kehandalan Ruslan tak diragukan. Selain tumbuh dan besar di kawasan tersebut sekaligus hutan menjadi tempat ia mencari nafkah, mencari madu lebah hutan dan berladang.

SURGANYA KAKATUA

Setiap Polhut atau polisi hutan melakukan patrol keliling hutan TN Moyo Satonda, Ruslan tak pernah ketingalan dilibatkan karena dialah paling paham rute di hutan seluas 22.537 hektar tersebut. Sekali patroli bisa menghabiskan waktu beberapa hari karena banyak tugas yang dilakukan oleh Polhut, mulai pelestarian flora, fauna juga patroli pelaku pembalakan liar yang masih sering terjadi.

Tujuan lain Ruslan direkrut sebagai petugas MMP sejak tahun 2021 tersebut untuk membantu petugas agar tidak terjadi perburuan liar pada burung kakatua kecil jambul kuning (cacatua sulphurea occidentalis).

Dulu cerita Ruslan, pulau Moyo tidak hanya dikenal dengan kelebatan hutan dan keindahan lautnya saja tetapi sebagai habitat utama kakatua jambul kuning. “Moyo ini dulu menjadi surga-nya kakatua jambul kuning. Orang dengan mudah menemui burung tersebut berterbangan di angkasa atau bertengger di dahan-dahan pohon. Bahkan dulu burung tersebut tidak hanya di hutan tetapi juga masuk wilayah perkampungan penduduk. Tapi sekarang jarang ditemui, masuk hutan pun jarang terlihat,” katanya dengan nada menyayangkan.

Baca Juga: Pose Misterius dengan Burung Kakatua Raja Bertengger di Pundaknya, Dimas Beck Peringati Hari Ulang Tahunnya dengan Cara Tak Biasa: Happy Birthday to Me!

 

Kepunahan burung tersebut disebabkan ulah pemburu liar yang melakukan penangkapan secara masif lalu menjualnya ke pasar gelap. “Kalau sekarang kita tidak saling bahu membahu menjaganya dengan ketat bisa dipastikan burung bersuara indah dan memiliki kecerdasan dengan kemampuan menirukan suara manusia tersebut bakal punah dan hanya menjadi cerita belaka,” paparnya lagi.

Duduk diatas batang pohon yang sudah rubuh sambil mengisap rokok dalam-dalam Ruslan menceritakan dulu jumlah kakatua di Moyo mencapai ribuan ekor namun sekarang hanya tinggal puluhan saja. Proses perkembangbiakkannya kakatua sendiri berjalan lambat. Setiap musim telur, seekor kakatua betina hanya bertelur dua butir untuk dierami. Dan biasannya para pemburu liar mencuri anakan kakatua yang barusan pecah dari cangkangnya dengan cara dirogoh dari luar lubang sarang. “Karena yang diambil adalah anakan sehingga tidak ada proses regenerasi jadinya lama kelamaan jumlahnya semakin sedikit,” ujarnya.

Ruslan yang sudah menjelajah ke seluruh sudut hutan pulau Moyo tersebut mencatat saat ini ada 13 sarang burung yang masing-masing sarangnya didiami sekitar 4-8 ekor burung. “Sebagian besar kakaktua membuat sarang di pohon binong di ketinggian sekitar 15-20 meter dari atas tanah,” ujarnya.

Nama Ruslan sangat dikenal dan disegani di kalangan para pemburu liar. Karena itu pemburu liar tidak berani menjamah pohon yang ada sarang burung yang dilindungi oleh undang-undang tersebut. “Itulah mengapa setiap pohon yang diatasnya terdapat sarang burung maka dibagian bawah dekat pangkal selalu saya beri nama saya, biar mereka tidak berani macam-macam,” kata Ruslan yang keikutsertaanya sebagai tenaga MMP adalah bagian dari kerja sosial karena tidak mendapat upah dari lembaga manapun. “Kecuali setiap 2 atau 3 bulan sekali diajak patroli oleh petugas Polhut baru mendapat upah harian sebesasr Rp 150 ribu,” tambahnya.

Sebagai orang kecil yang tinggal di pulau diperlukan usaha mencari tambahan penghasilan demi menghidupi istri dan anak-anaknya. Selain sebagai pencari madu di bulan September sampai Januari sehari-hari dia juga merawat ternak milik orang lain dengan sistem bagi hasil serta berkebun jambu mete. “Kalau tidak melakukan banyak hal maka tidak cukup untuk hidup,” papar Ruslan pekerjaan sebagai pencari madu dilakukan sejak tamat SD.Kedepannya dia akan menerima jasa memandu wisatawan yang ingin melihat habitat burung secara langsung atau memotret di alam liar. “Saya ingin orang datang ke Moyo ini tidak hanya ke air terjun saja, tapi juga ada sarana hiburan alam yang tak kalah menarik,” pungkasnya.

NYARIS PUNAH

Upaya proses penyelamatan kakatua kecil jambul kuning (cacatua suphurea occidentalis) dari kepunahan saat ini harus segera dilakukan. Karena kalau tidak maka akan benar-benar punah seperti di beberapa daerah lain. “Untuk wilayah Pulau Nusa Penida, Pulau Bali dan Lombok kakatua ini sudah dinyatakan punah karena itu untuk Sumbawa yang pusatnya berada di pulau Moyo harus dipertahankan populasinya,” kata Arya Ahsani Takwin, Regional Technical Officer untuk cacatua sulphurea occidentalis pulau Sumbawa.

Arya yang dikontrak oleh kementerian lingkungan hidup (KLHK) untuk membantu Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) NTB ini menjelaskan bahwa projek yang dikerjakan ini berbasis landscape dalam rangka memperkuat bentang alam untuk keanekaragaman hayati berkelanjutan terutama spesies yang tarencama punah secara global. “Untuk kawasan Sumbawa pun tidak semua ada kakatua. Di pulau Moyo sendiri sekarang cuma tinggal sekitar 51 ekor,” imbuh Arya yang sudah belasan tahun aktif bekerja di berbagai LSM tersebut. Menurut Arya pada tahun 80an data dari lembaga Pelestari dan Pengawetan Alam (PPA) serta diperkuat oleh lembaga internasional jumlah kakatua jambul kuning di Moyo ada sekitar 1600-an ekor. Namun dari hasil survei 3 bulan lalu dari 18 titik pengamatan di Moyo ini jumlah kakatua hanya tersisa 51 ekor. “Karena itu kalau tidak segera dilakukan gerakan penyelamatan maka dipastikan tidak lama lagi kakatua akan punah,” ujar Arya yang sarjana kehutanan tersebut.

Punahnya kakatua tersebut selain karena perburuan liar yang masif juga akibat pembabalakan hutan secara liar dan ditambah lagi para pembuka lahan ilegal tersebut untuk membersihkan area dengan cara dilakukan pembakaran. “Asap pembakaran hutan ini salah yang satu merusak habitat kakatua pula,” jelasnya.

Proyek yang tengah dijalankan saat ini adalah untuk mempertahankan populasi kakatua yang sudah ada tetapi kalau memang masih bisa berkembang itu adalah bonus.“ Sebab kakaktua perkembangbiakkannya sangat lamban.”

Dalam sebuah ekosistem, burung kakatua atau yang biasa disebut dengan burung paruh bengkok ini memiliki fungsi sangat penting. Kakatua disebut dengan burung pekebun hutan karena memiliki kemampuan menyebar biji ke berbagai tempat. “Kakatua kebiasannya setelah makan bijia-bjian di satu tempat kemudian dia terbang jauh ke kawasan lain. Di kawasan baru itu biji yang sudah dimakan kemudian dikeluarkan dan dibuang ke tanah kemudian tumbuh, bersemai dan tumbuh pohon-pohon baru,” papar Arya yang di Moyo ini selain melakukan konservasi penyelamatan habitat kakatua perlu diadakan peningkatan kapasitas masyarakat melalui, edukasi juga penegakan hukum.

Sampai saat ini di pulau Moyo masih terjadi pembukaan lahan ilegal dan berpindah-pindah. Tak heran banyak orang di desa bisa memilik berhekatar-hektar tanah di hutan. “Harapan saya yang sudah terlanjur oleh negara dibuatkan aturan kemitraan konservasi dengan aturan main yang ditentukan. Sehingga masyarakat tetap diberi ijin pengelolaan tetapi hak atas tanah ada pada negara,” imbuhnya.

Selain itu melalui projek konservasi masyarakat didampingi untuk memulihkan ekosistem dengan cara dilakukan kombinasi tanaman antara ekonomi produktif dengan tanaman hutan. “Tidak masalah kalau saat ini masyarakat lebih suka menanam wijen serta jagung yang penting dikombinasi dengan tanamn keras, misal kemiri dan durian yang memiliki nilai ekonomis dan masyarakat sebagai penjaga,” kata Arya yang soal ini masyarakat sudah sepakat.

DIKUNJUNGI LADY DIANA Karena Moyo juga menjadi bagian dari kawasan wisata maka dalam projek ini ia ingin mengembangkan potensi tersebut yang muaranya untuk kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi masyakat. “Harus bisa mencari alternatif mata pencarian baru agar masyarakat tidak hanya mengandalkan pertanian atau sesuatu yang berasal dari hutan saja,” ujar Arya yang jelaskan meski masyarakat Moyo meski tinggal di kawasan pantai yang bisa deijadikan sumber ekonomi tetapi lebih suka berladang dan bertani.

Karena itulah ia mendatangkan Nurdin Razak, seorang ahli ekowisata untuk mengedukasi masyarakat dalam sebuah kegiatan pelatihan maping birding tour masyarakat komunitas kakatua ranger untuk pada masyarakat penyangga TN Moyo Satonda.

Dalam sebuah pertemuan yang diikuti oleh puluhan peserta tersebut tujuannya bagaimana Moyo yang memiliki potensi alam baik darat maupun laut bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin. Misalnya, melakukan pengamatan alam liar dengan cara membawa wisatawan tracking ke setiap sudut hutan. “Ilmu meng-guide wisatawan inilah salah satu yang diberikan oleh Pak Nurdin kepada peserta. Jadi selain mendatangkan penghasilan tetapi burung di dalamnya tetap lestari.”

Arya prihatin pulau Moyo yang alamnya sangat elok tetapi tidak banyak memberi keuntungan secara ekonomi pada masyarakat. Sehari-hari tamu yang datang itu hanya melihat air terjun “Air Mata Jitu” yang pernah di kunjungi Lady Diana, kemudian balik lagi tanpa menginap. Pun demikian wistawan asing yang menikmati keindahan bawah laut bukan dari Moyo tetapi para turis dari Lombok yang membawa kapal sendiri. “Habis menyelam lalu kembali lagi ke Lombok, jadi secara ekonomi Moyo tidak mendapat sesuatu. Untuk itulah kami mengadakan acara ini tujuan untuk mengedukasi masyarakat, bahwa kekayaan alam Moyo itu bisa dijual,” papar Arya yang menjelaskan bahwa projek ini didanai oleh Global Environment Facility (GEF).

Bahkan lanjut Arya, dirinya sudah melakukan pembicaraan dengan BKSDA dan Dinas Pariwisata NTB, agar Nurdin Razak paling tidak dua atau tiga bulan tinggal di Moyo supaya bisa mendampingi masyarakat secara aktif. “Kalau sehari dua hari tentu tidak cukup, idealnya 2-3 bulan supaya masyarakat bisa betul-betul paham bagaimana caranya melayani wisatawan yang datang serta mengelola alam ini secara baik,” imbuhnya.

Arya sendiri mengaku sudah memiliki rencana besar apa saja yang harus dilakukan termasuk step by step yang harus dilakukan untuk mencapai sasaran. “Tetapi karena ini menyangkut lintas lembaga maka harus ada pembicaraan tersendiri,” imbuhnya.

JANGAN TINGGAL CERITA Kecemasan akan punahnya Kakatua-kecil Jambul-kuning juga datang dari para penggiat lingkungan. Yudistira Sukma (35) dari Sumbawa Biodiversity (SuBio), sebuah kelompok konservasi lingkungan yang bergelut di bidang pelestarian dan perlindungan biodiversitas di Sumbawa, termasuk Kakatua-kecil Jambul-kuning, terus melakukan berbagai upaya penyelamatan. “Saya tak ingin kelak anak-anak saya mengetahui kakatua itu hanya dari cerita dan buku saja tapi harus melihat secara nyata di habitatnya,” kata bapak satu orang anak tersebut.

Padahal, menurut Yudi yang juga aktif terjun sebagai relawan kebencanaan di berbagai wilayah Indonesia tersebut menguraikan kalau dilihat dari sejarah, Sumbawa yang termasuk di dalamnya wilayah pulau Moyo sejak jaman dulu dikenal sebagai habitat burung kakatua-kecil Jambul kuning. Itu diketahui salah satu nama kelurahan di dalam kota Sumbawa bernama “Pekat” yang dalam bahasa Sumbawa “pekat” merujuk pada kakatua kecil jambul kuning.Bahkan, Alfred Russel Wallace dalam sebuah buku hasil ekspedisinya di Indonesia yang dilakukan tahun 1854-1862 ketika melintas di kawasan pulau Moyo, ilmuwan Inggris itu menggambarkan pepohonan sepanjang pantai terlihat putih karena banyaknya kakatua hinggap di dahan-dahan pohon.

Tak hanya itu kerajinan parang yang dibuat pengerajin besi dari Sumbawa tempo dulu menjadikan kakatua kecil Jambul kuning sebagai motif ukir gagang parang buatannya. “Tapi sekarang sudah tidak ada lagi yang memakainya sebagai logo karena kakatua sendiri sudah nyaris sulit ditemui,” imbuh bapak satu orang anak ini.

Yudi menceritakan ia mendirikan kelompok konservasi tersebut berawal ketika ia dan sahabatnya Joni Sari Wijoyo sering menjadi guide wisatawan ke Pulau Moyo. Tetapi setiap tamu datang hanya ingin melihat air terjun "mata jitu” yang pernah di kunjungi Lady Diana. “Sebenarnya ingin sekali mengajak tamu melihat kakatua tetapi bagaimana lagi memang disana jarang terlihat lagi.”

Baca Juga: 3 Arti Mimpi Dijilat Kucing, Simbol Perasaan Positif atau Justru Harus Kamu Waspadai?

Lalu pada 2017, ada seorang dokter hewan bernama Oka Dwi Prihatmoko dari Bali, setelah dari Moyo kemudian singgah di kedai kopi miliknya. Oka yang juga seorang pelestari lingkungan, terutama burung paruh bengkok, menceritakan hal yang sama bahwa dirinya juga kesulitan untuk menemukan kakatua kecil Jambul kuning di Moyo. Sejak pertemuan bertiga tersebut, mereka kemudian melakukan berbagai kegiatan seperti kampanye penyadaran ke anak sekolah dan masyarakat di desa penyangga, terutama di desa Labuan Aji, pendataan pohon sarang alami kakatua, dan lain-lain. Sejak saat itu, sedikit-demi sedikit data sarang dan ancaman kakatua di Pulau Moyo mulai terkumpul. Selain itu, Yudi dan Joni, setiap membawa tamu ke Moyo, selalu menitipkan pesan ke masyarakat untuk ikut menjaga kelestarian kakatua jangan sampai punah.

Seiring berjalannya waktu, Oka kemudian mengajak mereka mendirikan lembaga yang lebih besar yang bergerak di bidang pelestarian burung-burung paruh bengkok di Indonesia, termasuk di dalamnya adalah kakatua. “Karena kami memiliki kegemaran yang sama, ajakan dokter Oka kami sambut,” paparnya. Pada akhir tahun 2022, lahirlah Yayasan Paruh Bengkok Indonesia yang di komandoi oleh drh. Oka.

Sebagai langkah awal, Yudi bersama Joni dan Oka, dibawah bendera Yayasan Paruh Bengkok Indonesia (PBI) dan Sumbawa Biodiversity (SuBio), membuat buku “Kakatua Kecil Jambul Kuning Pulau Moyo”, namun saat ini tengah dilakukan revisi setelah di edisi pertama sempat dicetak terbatas. Isi buku edisi pertama bercerita tentang hasil eksplorasi mereka sejak 2017. Pada edisi revisi yang sedang dikerjakan, kakatua Moyo disajikan secara lebih detail dari berbagai sisi, mulai dari sisi sejarah, bioekologi, konservasi hingga ulasan tentang protokol-protokol dari sisi ilmu kodekteran hewan.

Pada awal 2023, Yudi, Joni, dan Oka yang telah tergabung dalam Yayasan PBI, kembali melakukan kegiatan penelitan yang lebih serius terhadap kakatua kecil jambul kuning di Pulau Moyo. Kali ini, ikut bergabung juga dalam Yayasan PBI, Saleh Amin yang bertugas mendesain aspek ilmiah dan Nilam Chandra, alumni Kehutanan Universitas Mataram yang membantu urusan tumbuhan. Dari hasil studi ini, mereka kemudian berinisiatif mencoba pendekatan sarang buatan (nest-box) yang disebar di daerah Brang Sedo. Tujuannya adalah untuk memperbanyak lubang sarang dan mengurangi kompetisi atau perebutan lubang sarang dengan jenis burung lain sehingga meningkatkan keberhasilan perkembangbiakan kakatua di Pulai Moyo. “Karena literatur Kakatua jenis ini sangat minim bahkan nyaris tidak ada, maka satu-satunya cara yakni melakukan pengamatan langsung untuk melihat perilaku burung yang karismatik dan indah tersebut,” imbuhnya.

Untuk melakukan pengamatan di habitatnya, Yudi, Joni, dan Oka didampingi oleh Pak Ruslan yang sangat paham dengan medan Pulau Moyo. Pak Ruslan tahu dimana saja lokasi sarang kakatua berada. Sekali pengamatan bisa memakan waktu sampai seminggu tinggal di tengah hutan. Untuk istirahat Yudi dan kawan-kawan menggunakan tenda, di tepi pantai atau sungai, namun kebanyakan di dalam hutan.

Biaya untuk melakukan ekspedisi tersebut didapat dari swadaya alias kantong masing-masing namun yang terbesar sumbernya dari Oka. Pernah karena tidak ada biaya untuk menunjang kegiatannya tersebut, ia mencari dana dengan menjual kaos desain kakatua, keuntungan dari kedai kopi, hasil persewaan peralatan camping, sampai menyisisihkan sebagian ketika mendapat profesional fee ketika menjadi guide dari wisatawan. “Pokoknya apa saja yang bisa menghasilkan kami lakukan. Kita harus kreatif sebab kegiatan ini tidak mendapat sokongan dana dari manapun”.

“Dari studi secara langsung tersebut akhirnya diketahui perilaku kakatua, sebaran sampai pergeseran musim bertelur yang ternyata bisa berubah-ubah karena faktor cuaca,” imbuhnya. “Pernah kami temukan, pohon yang ada sarang buatannya, masih kokoh berdiri, tidak ditebang oleh pemilik lahan. Ini menunjukkan bahwa keberadaan sarang buatan kami tersebut ternyata ada pengaruhnya juga,” lanjutnya.

Sementara Nurdin Razak, akademisi sekaligus praktisi di bidang ekowisata menguraikan jika aset yang terkandung di alam Moyo sangat luar biasa. Jika bisa mengelola dengan baik akan memberikan dampak ekonomi yang sangat bagus buat masyarakat. “Baik hutan maupun lautnya luar biasa indah. Sayang kalau tidak dikelola dengan baik,” kata Nurdin yang sekaligus seorang fotografer alam liar yang sudah pernah menjelajah di 27 dari 51 Taman Nasional yang ada di Indonesia.

Nurdin yang memberikan pelatihan maping birding tour masyarakat komunitas Kakatua ranger selama tiga hari kepada warga setempat tersebut menjelaskan dengan memberikan edukasi maka selain kelestarian flora fauna Moyo terjaga maka ekonomi masyarakat bisa meningkat. (Gandhi Wasono)