Grid.ID - Kisah cinta para figur politik Indonesia menarik untuk disimak.
Salah satunya kisah cinta romantis antara Soeharto dengan istrinya, Siti Hartinah atau akrab disapa Ibu Tien.
Siapa sangka, perjalanan cinta Soeharto dan Ibu Tien tak kalah romantis dari drama Korea.
Bermula dari perjodohan, kisah cinta mereka berakhir hingga maut memisahkan.
Berikut perjalanan kisah Soeharto dengan cinta sejatinya, Ibu Tien, yang tak banyak diketahui.
Bermula dari Perjodohan
Soeharto dan Hartinah sudah saling kenal sejak kanak-kanak.
Keduanya sama-sama bersekolah di satu SMP, di Wonogiri, Jawa Tengah.
Di sana, Hartinah merupakan adik kelas Soeharto.
Kebetulan dia satu kelas dengan Sulardi, sepupu Soeharto.
Soeharto sendiri diceritakan tak pernah menunjukkan tanda-tanda naksir kepada Hartinah.
Justru Hartinah yang sempat berkelakar kepada Sulardi bahwa suatu saat nanti dirinya akan menjadi kakak ipar Sulardi.
Selepas sekolah, keduanya berpisah. Soeharto melanjutkan ke PETA dan terjun ke dunia ketentaraan.
Sementara Hartinah aktif di Laswi dan PMI.
Soeharto dan keluarga bibinya berkunjung ke rumah Soemoharjomo di Solo, dipertemukan untuk pertama kalinya dengan Hartinah, calon istrinya.
Dalam pertemuan yang dalam adat Jawa disebut “nontoni” itu pun Soeharto masih belum percaya diri, “Apakah dia akan benar-benar suka kepada saya?” Soeharto membatin.
Kenyataannya, keluarga Soemoharjomo menerima pinangan Soeharto.
Pernikahan dilakukan pada 26 Desember 1947.
Resepsinya sangat sederhana. Pada malam hari hanya bercahayakan temaram lilin.
Tak dihadiri banyak tamu.
Saat itu Soeharto berumur 26 dan Hartinah 24.
Menurut RE. Elson dalam buku Suharto: Sebuah Biografi Politik, hubungan cinta dua sejoli yang berbeda latar belakang status sosial itu diuntungkan oleh situasi zaman revolusi.
Era revolusi memungkinkan seorang pemuda desa seperti Soeharto memiliki “pamor” karena berkecimpung sebagai perwira militer yang memiliki tempat terhormat pada masa itu.
Itulah yang membuat gambaran Soeharto berbeda di depan mata calon mertuanya, selain tentu saja karena hubungan dekat keluarga pamannya dengan orangtua Hartinah.
“Perkawinan kami tidak didahului dengan cinta-cintaan seperti yang dialami oleh anak muda di tahun delapan puluhan sekarang ini. Kami berpegang pada pepatah, ‘witing tresna jalaran saka kulina,” kata Soeharto kepada Ramadhan KH, dalam Ucapan, Pikiran dan Tindakan Saya.
Soeharto Selalu Menjaga Keutuhan Rumah Tangga
Tak ada bulan madu bagi mereka karena tiga hari setelah pernikahan, Soeharto harus kembali ke Yogyakarta untuk berdinas.
Mereka pun tinggal di Jalan Merbabu Nomor 2.
Seminggu setelah itu, Soeharto harus meninggalkan sang istri karena ditugaskan ke Ambarawa untuk menghadapi serangan Belanda dari Semarang.
Menjadi istri tentara di zaman Perang kemerdekaan memang berat.
Bahkan, saat harus melahirkan anak pertamanya, Hartinah terpaksa tak bisa ditemani Soeharto yang sedang bertempur.
Meski begitu, dia tetap tegar dan setia.
Pernah suatu hari, Soeharto terlihat penat karena tugas militer dan hampir menyerah.
Hartinah dengan lembut berkata, “Aku dulu menikah dengan tentara, bukan dengan sopir. Jadilah tentara yang bermartabat.”
Pepatah bahwa di belakang pria hebat pasti ada wanita yang tangguh sepertinya memang benar adanya.
Dalam otobiografinya, Soeharto menulis ia dan sang istri selalu menjaga ketenteraman rumah tangga dengan cinta dan pengertian.
Tak bisa dipungkiri, cinta kasih dan dukungan yang diberikan Hartinah menjadi pendorong karir Soeharto sebagai presiden.
Laiknya pasangan lain, cemburu dan cekcok suami istri juga dialami Soeharto.
Namun baik Soeharto maupun Hartinah bisa menempatkan kecemburuan secara bijak.
"Hanya ada satu Nyonya Soeharto dan tidak ada lagi yang lainnya. Jika ada, akan timbul pemberontakan yang terbuka di dalam rumah tangga Soeharto," demikian tulis kata Pak Harto.
Romantis Hingga Maut Memisahkan
Sebagai istri prajurit, Ibu Tien harus terbiasa hidup mandiri.
Meski jarak kerap memisahkan keduanya, kasih Soeharto kepada istrinya begitu besar.
Hal ini salah satunya terlihat ketika Soeharto tampil membela proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang digagas Tien.
Sebagaimana diketahui, pembanggunan TMII kala itu banyak diprotes karena dianggap tak bermanfaat dan mubazir.
Setelah sepuh, Soeharto dan Tien sering menghabiskan waktu di TMII hingga maut memisahkan mereka.
Pada 28 April 1996, Ibu Tien meninggal dunia.
Soeharto pun larut dalam kesedihan yang mendalam.
Untuk melepas rindu dengan belahan jiwanya, Soeharto kerap meminta anak-anaknya untuk mengantar dia ke TMII.
Di sana, Soeharto hanya duduk terdiam dan memegang tongkat jalannya. Itulah momen Soeharto begitu merindukan mendiang istrinya.
"Walau bicaranya sudah tidak jelas, tapi saya bisa mengerti isi perkataan beliau. Pak Harto bilang, 'Saya rindu pada Ibu. Dan setiap saya merindukan Ibu, Taman Mini ini yang membuat kerinduan saya terobati'," kata Bambang Sutanto, mantan pimpinan TMII, menirukan ucapan Soeharto.
Dua belas tahun kemudian, Soeharto tutup usia dan menyusul wanita terkasihnya untuk selamanya.
(*)