Grid.ID - Perahu kelotok dengan suaranya khas lalu lalang melintas diatas sungai Katingan yang siang itu airnya mengalir cukup deras.
Perahu kelotok atau orang setempat menyebut dengan sebutan ces adalah moda transportasi utama.
Oleh masyarakat setempat ces digunakan mulai dari nelayan mencari ikan, angkutan orang sampai pedagang membawa barang daganggan. Sekali waktu juga kapal tongkang dengan muatan penuh melintas di atas sungai tersrbut.
Saya ke Karuing bersama Nurdin Razak, ahli ekowisata untuk memberi pelatihan peningkatan kapasita masyarakat desa penyangga kawasan hutan taman nasional. Kegiatan itu diselenggarakan kerjasama antara Taman Nasional Sebangau dengan Borneo Nature Foundation (BNF).
Empat hari pertama saya tinggal homestay di Punggualas, yakni sebuah penginapan yang terletak diatas sungai gambut di tengah hutan yang dibagun oleh Badan Restorasi Gambut (BKG) kemudian bangunan tersebut diserahkan kepada masyarakat Desa Karuing untuk dikelola.
Dari Punggualas saya kemudian bergeser ke Desa Karuing, yang dari Panggualas memakan waktu sekitar 30 menit dengan menggunakan ces. Karuing adalah desa penyangga atau desa yang berbatasan langsung dengan taman nasional.
Menuju Karuing pagi itu suasana cerah langit biru dengan awan putih bersih berarak-arak tampak sangat indah. Dari atas perahu terlihat Karuing sebuah desa yang tenang dan damai.
Warga Karuing yang masuk dalam suku Dayak Katingan menempati rumah tinggal berderet di sepanjang tepian sungai. Tampak pula bangunan sarang burung walet berupa gedung tembok permanen lebih tinggi dari rumah penduduk dengan lubang di sekelilingnya sebagai pintu masuk burung.
Di Karuing saya tinggal di homestay milik Ibu Neliyani atau yang biasa disapa Mama Leha. Meski sederhana bagi saya homestay berbentuk rumah panggung dari kayu ulin ini memiliki view istimewa.
Di belakang rumah ada sebuah teras yang menghadap langsung ke sungai Katingan sekaligus terdapat “dermaga” untuk naik atau turun perahu. Jadi dari teras itu pula mata dengan leluasa memandang sungai dengan segala aktifitas diatasnya.
Baca Juga: Pengabdian di Sekolah Terpencil di Kampung Cilember, Bandung
D iseberang sungai selebar sekitar 200 meter terbentang luas hutan tropis khas Kalimantan yang menjadi habitat berbagai satwa liar mulai berbagai jenis burung dan primata sampai reptilia.
“Kadang kalau sore dari kejauhan ranting pohon di tepi sungai itu bergerak-gerak karena gerombolan bekantan bergelantungan,” kata Mama Leha pemilik homestay.
Karuing yang dihuni oleh suku Dayak Katingan tersebut diapit oleh dua bentang alam berbeda, yakni sungai Katingan sungai yang menjadi urat nadi transpotasi masyarakat serta hutan Taman Nasional Sebangau yang menjadi habitat tumbuhan dan aneka satwa liar.
Jadi sudah bisa dibayangkan betapa indah dan eksostisnya desa yang secara geografis masuk wilayah Kecamatan Kamipang, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah tersebut.
TELAPAK KAKI SELALU BERSIH, JIKA BERJALAN DIIRINGI “MUSIK”
Bagi orang penyuka travelling terutama yang gemar menjelajah daerah baru atau hobi foto dengan obyek alam liar hampir pasti Karuing dengan lingkungan alamnya menjadi salah satu tempat yang sangat menarik untuk disinggahi.
Di sepanjang tepian sungai sejak dari desa Karuing hingga Desa Pagatan yang paling ujung menghadap laut Jawa yang berjarak ratusan kilometer terdapat puluhan desa. Antar satu desa dengan desa lain tidak ada jalan darat semua melalui jalur air.
Jarak antar desa juga bervariasi, ada yang cukup 30 menit dengan menggunakan ces tapi ada yang memerlukan waktu 1,5 jam lamanya untuk bisa sampai tujuan.
Sedang dari Karuing ke arah hulu atau orang menyebut daerah atas yang masuk wilayah Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya jaraknya ratusan kilometer pula. Di sepanjang aliran sungai terdapat desa-desa yang dihuni oleh suku Dayak.
Yang menarik masing-masing suku memiliki perbedaan adat istiadat, kepercayaan, agama dan bahasa. Masyarakat Dayak, ada yang menganut kepercayaan asli yakni Kaharingan, Kristen juga Islam.
Bahkan soal bahasa daerah suku Dayak memiliki ragam bahasa yang sangat banyak. Dimana antar suku yang tinggal di satu kampung berbeda sama sekali dengan kampung lainnya.
Desa Karuing sendiri dihuni 184 KK terdiri dari 560 jiwa dan masuk golongan suku Dayak Katingan yang mayoritas beragama Islam. Karena lokasi desa berhimpitan dengan kawasan hutan sehingga udaranya bersih segar ditambah di desa ini tidak ada kendaraan bermotor hanya sesekali sepeda onthel melintas.
Jalan utama desa dari ujung ke ujung sepanjang 1.340 meter terbuat dari kayu ulin selebar 1.5 meter. Jadi ketika berjalan diatasnya ada “musik” alias suara glodakan yang mengiringi sepanjang perjalanan. Jalan desa tersebut diapit oleh deretan rumah penduduk.
Satu deret rumah warga membelakangi sungai dan satu deret lainnya membelakangi hutan desa. Karena lembab dan semua bangunan berada diatas panggung sehingga desa ini nyaris tidak berdebu.
Selama dua pekan saya di Karuing jika jalan-jalan keluar rumah sering nyeker karena telapak kaki selalu bersih karena kaki tidak menyentuh tanah.
Karena tidak ada saluran listrik PLN masing-masing rumah menggunakan panel surya tapi sumber daya hanya mampu untuk lampu dengan wat rendah dengan waktu terbatas. Sebagian warga memiliki diesel pembangkit listrik selain untuk tambahan penerangan juga untuk ngecas handphone. Pun demikian saluran seluler juga tergantung dengan cuaca.
Kalau pas terik matahari BTS seluler bisa bekerja seharian tetapi kalau hujan atau mendung jangan kaget handphone tiba-tiba mati karena pasokan listrik dari panel surya berhenti.
Fasilitas pendidikan di desa tersebut terdapat sekolah TK, SD dan SMP. Jika selepas SMP ingin melanjutkan ke SMA maka siswa harus ke Kasongan, ibukota Kabupaten Katingan atau ke Palangkaraya, ibukota propinsi.
“Kalau ingin melanjutkan SMA harus kos di luar daerah. Itulah salah satu penyebab anak Karuing sebagian besar hanya tamatan SMP karena orangtua nya tidak mampu menyekolahkan keluar desa,” kata Jeki warga setempat yang mendampingi kemanapun kami pergi.
JADI LOKASI SYUTING FILM PETUALANGAN ANACONDA 2
Sebagian besar masyarakat desa Karuing mata pencariannya mencari ikan di sungai sedang lainnya bekerja di tambang emas ilegal yang banyak terdapat di sepanjang sungai.
Soal ikan, sungai Katingan merupakan habitat ikan gabus, patin, udang juga beberapa jenis ikan tawar lainnya. Hasil tangkapan selain untuk dikonsumsi sendiri juga dijual pada pengepul yang kemudian dikirim ke Kasongan atau Palangkaraya.
Saat-saat tertentu kadang ikan di sungai melimpah sehingga sampai surplus akibatnya harga di pasaran merosot. Bagi orang penyuka ikan seperti saya Karuing adalah surga.
Saban hari menu makanan yang disajikan oleh Mama Leha selalu ikan dengan berbagai macam olahan pula.Dari Palangkaraya untuk menuju Karuing dibutuhkan waktu sekitar 3-4 jam lamanya. Kondisi jalan cukup bagus hanya kadang aspalnya naik turun karakter dari tanah gambut yang mudah amblas.
Rutenya Palangkaraya menuju Kereng Pakahi dermaga perahu terlebih dahulu sejauh sekitar 150 km bisa dengan mobil atau motor. Selanjutnya dari Pakahi menuju Karuing dilanjut dengan naik ces sekitar 30 menit lamanya.
Kereng Pakahi adalah dermaga perahu yang setiap saat digunakan oleh masyarakat yang dari atau menuju desa yang berada di tepian sungai Katingan.
Pakahi sendiri setiap hari minggu menjadi hari pasaran dimana masyarakat dari berbagai desa di sepanjang sungai datang berbelanja barang kebutuhan. Karena Karuing ada sawah untuk pasokan beras dan beberapa jenis sayur dan buah diperoleh dari luar daerah.
Namun meski berdampingan dengan hutan lebat serta berada di tepian sungai namun suhu di Karuing cukup panas ini diakibatkan masuk garis equator.
Selain suasana desa yang damai serta aktifitas sungai yang memberi nuansa keindahan berbeda Karuing memiliki hutan yang eksositis. Hutan yang letaknya berada di punggung desa tepat bersebelahan dengan hutan wilayah taman nasional Sebangau. Untuk masuk ke hutan tersebut melewati sungai yang melintas di tengah-tengahnya. Tapi pada titik-titik tertentu bisa dengan trekking atau jalan kaki menembus hutan lebat.
Pada suatu siang menjelang sore, saya bersama Nurdin Razak diantar Mas Jeki, juru mudi ces sekaligus ketua penggiat wisata desa berkesempatan kesana. Mas Jeki mengantar masuk hutan melalui sungai untuk maping atau mencari tempat yang bisa dijadikan sebagai lokasi trekking wisatawan atau para photographer alam liar memotret satwa.
Begitu ces dari arah sungai Katingan mulai memasuki anak sungai sekitar 500 meter kemudian mesin ces dimatikan kemudian perahu dibiarkan melaju perlahan mengikuti aliran air sungai yang bergerak lambat. Untuk mengarahkan perahu Jeki pindah ke ujung perahu dan mengendalikan dengan bilah kayuh.
Makin masuk ke ke dalam suasana teduh, dan hening makin terasa. Yang terdengar hanya gemericik lembut air dari lambung perahu ditambah suara belalang serta celoteh berbagai jenis burung yang hinggap di dahan-dahan pohon. Di kanan kiri tumbuh pepohonan besar dan kecil dengan daun lebat.
Baca Juga: Pakar Ekowisata Nurdin Razak Latih Warga Desa Karuing Datangkan Wisatawan Asing
Makin ke dalam air sungai yang semula berwarna coklat keruh berganti berwarna coklat kehitaman jernih karena tanin atau larutnya akar-akaran dan gambut. Lebar sungai pun juga tidak merata kadang melebar tapi kadang menyempit hanya selebar badan perahu saja.
Di kanan kiri sungai dipenuhi oleh tanaman air yang lalu lalang kadang menghalangi jalannya perahu. Karena itu ketika melintas harus waspada bukan akar yang lunak saja tapi kadang batang rotan berduri tajam menjulur menghalangi dan jika kesenggol bisa melukai kulit.
Karena itu sambil perahu melaju, Mas Jeki di depan dengan parang terhunus menebas jika ada kayu atau batang tanaman yang merintangi.
Dan Jeki langsung menghentikan perahunya jika ada obyek foto bagus, entah burung atau satwa lainnya.
Sambil menikmati suasana hutan yang begitu eksotis saya langsung teringat dengan adegan film petualangan Anaconda 2 yang berjudul The Hunt of Blood Orchid yang dirilis tahun 2004. Karena film besutan sutradara Dwilight H. Little kebetulan syutingnya mengambil tempat di Taman Nasional Sebangau, yang tidak jauh dari saya berada.
Film petualangan yang dibalut dengan kisah horor yang dibintangi oleh Johnny Mesner, KaDdee Strickland dan Eugene Byrd, berkisah tentang sekelompok ilmuwan yang menjelajah hutan Kalimantan untuk mencari anggrek darah untuk kepentingan riset ilmu pengetahuan.
Namun, saat melakukan pencarian bunga anggrek misterius para kelompok ilmuwan yang melintas sungai tersebut bertemu dengan anaconda atau seekor ular raksasa yang sangat ganas. Meski film tersebut adalah fiksi, karena di Kalimantan tidak ada ular anaconda tetapi tetap saja menarik dan mendebarkan.
MEMOTRET GEROMBOLAN BEKANTAN MELINTAS
Ketika asyik menikmati suasana yang teduh karena sedikit mendung tiba-tiba Jeki spontan menghentikan laju perahu dan menunjukkan rombongan bekantan diatas pohon besar yang ada sebelah kanan badan perahu. Ada sekitar 20-an ekor primata dengan bulu berwarna coklat keemasan melintas bergantian di satu dahan besar. Pemandangan langka itu hanya berjarak sekitar 50 meter dari perahu.
Cukup lama iring-iringan bekantan dewasa dan anak-anak tersebut bergantian lewat sebelum menghilang masuk ke rerimbunan hutan. Dan alhamdulillah pemandangan menarik itu sudah saya rekam melalui kamera yang sudah saya siapkan. “Bukan hanya bekantan kadang ada orang-utan nampak di atas sana,” jelas Jeki sang pemandu wisatawan tersebut.
Tetapi kami agak susah membidik dengan posisi fokus yang maksimal karena perahu yang kami tumpangi tidak cukup tenang alias terus bergoyang-goyang. Dari sekian puluh jepretan hanya beberapa saja yang cukup bagus.
Menurut Jeki yang juga ketua kelompok Simpul Wisata Desa sebuah lembaga desa Karuing yang bertugas untuk mengurus para wisata, kadang kalau beruntung juga terdapat orang-utan liar berada disana. “Tetapi, karena sekarang air lagi tinggi orang-utan tidak akan mendekati sungai tetapi justru masuk ke tengah hutan karena orang-utan adalah salah satu binatang yang tidak bisa berenang,” kata Jeki.
Setelah puas berlama-lama di atas perahu dan menikmati senja di hutan Karuing, sebelum hari gelap dan hujan tiba mesin ces dihidupkan kembali lalu keluar kembali ke desa. Tapi pengalaman saya yang pernah memasuki beberapa taman nasional di Indonesia hutan di Karuing dan taman nasional Sebangau memiliki kelebihan yang tak dipunyai oleh daerah lain.
Banyak yang bisa ditawarkan kepada wisatawan yang datang ke Karuing. Selain susur sungai di tengah hutan, juga bisa treking menjelajah hutan melihat lebih dekat flora dan fauna di alam bebas,
“Bagi penyuka fotografgi alam liar kawasan Karuing adalah surga. Disini tersaji mulai reptilia mulai ular piton, ular hijau, burung betet, rangkong badak, kangkareng perut putih, julang emas, juga sempur hutan sungai dan masih banyak lagi,” kata Nurdin Razak, ahli ekowisata sekaligus photographer alam liar.
Selain keindahan alam ada satu hal yang menarik dari Karuing adalah perilaku masyarakatnya yang ramah. Bukan hanya mereka yang dewasa saja tetapi sampai anak-anak pun juga demikian.
Saya punya pengalaman, ketika hari pertama datang di desa pas di depan masjid tiba-tiba ada seorang anak datang menghampiri saya. Si anak mengenakan busana muslim dengan senyum mengulurkan tangan mengajak berjabat tangan.
“Salam kenal om nama saya Abit,” katanya dengan ramah. Jujur, seketika itu saya membatin betapa si anak ini percaya dirinya tinggi dan santun.
Sejurus kemudian, saya diajak duduk di teras masjid oleh bocah yang duduk di bangku kelas 5 SD itu dan diajak ngobrol. Dia tanya asal saya dan apa keperluan saya datang ke desanya.
Tak lama kemudian, kawan-kawannya yang dari dalam masjid keluar juga menjabat tangan dan ikut bergabung berbincang dengan topik bola olahraga yang dia gemari. Bahkan dia menanyakan satu persatu pemain timnas. “Om sudah pernah bertemu dengan mereka,” kata Abit yang membuat saya agak gelagapan karena saya tidak menguasai dunia bola.
Baca Juga: 5 Shio Paling Bahagia Tinggal di Desa, Hidup Tenang dan Bisa Kerja Seperlunya Saja
Saya kerap bepergian ke berbagai daerah tapi saya sangat jarang bahkan belum pernah menemukan ada anak-anak yang rasa percaya diri dan adabnya begitu tinggi. Dan perilaku yang demikian bukan hanya Abit saja tapi juga anak-anak yang lain.
Sejak perkenalan pertama itu kalau pagi hari sebelum berangkat sekolah Abit juga anak-anak lain abis memunguti mangga kuweni matang yang berjatuhan kemudian mengantarkan ke penginapan.Kebetulan Karuing adalah surganya manga kuweni.
Saya merasakan selama dua pekan di Karuing, tak hanya menyenangkan tetapi meninggalkan kesan yang tak mudah dilupakan.***.
Gandhi Wasono