Grid.ID- Baru-baru ini, publik dikejutkan dengan dua kasus yang mencuatkan istilah child grooming. Pertama, kasus AKBP Fajar Widyadharma Lukman, mantan Kapolres Ngada, yang diduga melakukan kekerasan seksual terhadap tiga anak di bawah umur, bahkan merekam dan mengunggah video pelecehan tersebut di situs dewasa.
Kedua, skandal yang menyeret nama aktor Korea Selatan, Kim Soo Hyun. Bintang Queen of Tears itu diduga menjalin hubungan asmara dengan Kim Sae Ron saat masih berusia 15 tahun. Kedua kasus ini, meski berbeda konteks, sama-sama menyoroti bahaya child grooming, sebuah tindakan yang merusak masa depan anak-anak.
Definisi dan Perbedaan dengan Pedofilia
Child grooming adalah proses manipulasi yang dilakukan oleh orang dewasa untuk membangun hubungan emosional dengan anak, dengan tujuan mengeksploitasi mereka secara seksual. Mengutip Tribun Jatim, psikolog klinis Universitas Indonesia, Kasandra A. Putranto, menegaskan bahwa child grooming berbeda dengan pedofilia.
Pedofilia adalah kondisi psikologis yang ditandai dengan ketertarikan seksual yang berkelanjutan terhadap anak-anak pra-pubertas. Namun, tidak semua pelaku kekerasan seksual terhadap anak adalah pedofil. Beberapa pelaku melakukan pelecehan karena alasan lain, seperti kekuasaan atau kontrol.
Dampak Child Grooming pada Korban
Anak-anak yang menjadi korban grooming sering mengalami dampak serius pada kesehatan mental mereka, seperti kecemasan, depresi, stres pasca trauma, hingga pikiran untuk bunuh diri. Jika pelaku meminta anak membuat konten intim, korban sering merasa malu dan menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi.
Bahkan tanpa kontak langsung, grooming dapat sangat memengaruhi anak, sehingga penting untuk segera mengambil tindakan. Respons orang dewasa di sekitar anak juga sangat berpengaruh pada proses pemulihan.
Jika anak tidak dipercaya atau tidak mendapatkan dukungan yang tepat, trauma yang dialami bisa semakin parah dan berdampak buruk pada kesehatan fisik dan mental mereka dalam jangka panjang. Sebaliknya, jika orang dewasa bersikap protektif, mempercayai anak, dan memberikan dukungan yang diperlukan, anak memiliki peluang lebih besar untuk pulih dari trauma.
Modus Operandi Pelaku
Psikolog Kasandra A. Putranto menjelaskan bahwa pelaku child grooming biasanya memiliki sifat manipulatif dan pandai memengaruhi emosi. Mereka membangun hubungan emosional dengan anak untuk mendapatkan kepercayaan, baik secara langsung maupun melalui dunia maya.
Pelaku sering menunjukkan perhatian dan empati berlebihan agar terlihat peduli terhadap kebutuhan anak. Pelaku juga memiliki kemampuan sosial yang baik, sehingga mudah disukai oleh anak-anak dan orang dewasa.