Ketika sampai di pelabuhan muatan es tidak langsung dibongkar dari kapal.
Satu hari setelahnya (18 November) barulah muatan es dibongkar dan dibawa ke darat yang kemudian dibawa ke pemesan.
Perlu dicatat bahwa saat itu belum ada mesin pendingin es didalam kapal agar es batu tetap beku.
Sebagai gantinya es batu dibungkus menggunakan Wol agar tak segera mencair.
Namun jangan bayangkan setiap orang bisa membeli es batu dengan mudah saat itu.
Hanya orang-orang kaya dan berpengaruh yang bisa membeli es batu tersebut.
Umumnya mereka tinggal di kawasan elit Batavia seperti Meester (Jatinegara, Jakarta Timur) atau Weltevreden (Sawah Besar, Jakarta Pusat).
Bahkan orang Belanda biasa tak bisa menikmati segarnya minuman dingin yang dicampur es batu kala itu.
Es batu juga disuguhkan di saat acara-acara penting dan merupakan hidangan mewah.
Untuk setiap 500 gram es batu saat itu dibanderol 10 sen Gulden, harga yang cukup mahal di tahun 1846.
Saking fenomenalnya, kedatangan es batu ke tanah air sampai dimuat dan diberitakan oleh surat kabar Kavasche Courant.
Namun kehebohan atas kedatangan es batu ke Hindia Belanda membuat birokrasi ekspor-impor pemerintahan Hindia Belanda sempat dibuat repot.
Sampai tahun 1870 ketersediaan es batu di Hindia Belanda masih di impor dari Boston.
Lalu pada tahun 1895 seorang pengusaha keturunan Tionghoa bernama Kwa Wan Hong membuka pabrik es batu pertama kali di Indonesia bertempat di Semarang.
Kemudian bermunculan pabrik es serupa di Tegal, Pekalongan, Surabaya dan Batavia.(Seto Aji/Grid)