Find Us On Social Media :

Sempat Diragukan dan Mendapat Penolakan, Wanita Ini Mampu Menciptakan Perusahaan Sosial yang Mempekerjakan Wanita Pengungsi dari Suriah

By Septiyanti Dwi Cahyani, Jumat, 25 Mei 2018 | 17:28 WIB

Becca Stevens, pendiri The Welcome Project

Grid.ID - Di samping kebun-kebun anggur yang megah dan pedesaa yang subur di Pulau Evia Yunani, pagar kawat berduri mengelilingi bekas kamp militer yang tandus.

Di sana, ada 1.000 pengungsi Suriah.

Orang-orang berjalalan dengan wajah keputusasaan di kamp Ritsona karena tidak tahu kemana nasib mereka akan berujung.

Apakah mereka bisa pulang atau secara permanen dipindahkan ke kamp pengungsian itu.

Di antara ribuan pengungsi Suriah yang tinggal di sana, sembilan perempuan telah bekerja membuat kain tenun, menganyam tikar dengan benang merah, hitam, silver, oranye dan hijau limau.

The Welcome Project adalah gagasan dari Becca Stevens yang merupakan istri dari penyanyi country Marcus Hummon.

BACA JUGA Kebiasaan yang Dilakukan Orang Sukses di Pagi Hari, Wajib Kamu Contoh nih!

Selama 20 tahun, Stevens telah membantu wanita-wanita yang menderita karena perdagangan, kekerasan atau hidup di jalanan.

Ia menawarkan tempat tinggal sementara dan membantu para orangtua mendapatkan hak asuhnya kembali.

Selain itu, Stevens juga mendirikan sebuah perusahaan yang khusus mempekerjakan para perempuan yang pernah bekerja di prostitusi.

Perusahaan bertajuk Thistle Farms itu mempekerjakan wanita yang berubah.

Mereka dilatih untuk membuat lilin aromaterapi dan produk kecantikan dengan label Love Heals.

Ketika pertama kali mendengar penderitaan para pengungsi Suriah, Stevens merasa dirinya mendapatkan panggilan hati.

BACA JUGA Belajar Jadi Mandiri, Ini 4 Cara Efektif Berhenti Bergantung pada Orang Lain

"Saya melihat video orang-orang yang menyeberang sejauh 4,1 mil dari laut berbahaya, mendengar laporan berita tentang begitu banyak orang yang tenggelam dan orang-orang yang masuk ke Lesbos dengan kondisi yang mengerikan. Sungguh, betapa luar biasa dampak dari genosida di Suriah", kata Stevens.

Dia datang dengan ide mengajar para wanita di kamp pengungsian untuk membuat sesuatu yang berguna di kehidupan nyata.

"Mereka seperti simbol yang kuat", kata Stevens.

Stevens kemudian membentuk tim dengan pembagian tugas masing-masing.

Ada yang bertugas di bagian logistik, ada yang bertugas menemui Ann Holtz, seorang penenun di North Carolina yang bersedia mengajar.

Stevens dan kelompoknya datang untuk menawarkan pekerjaan dan harapan bagi para pengungsi Suriah.

BACA JUGA Pandji Pragiwaksono: Masa Remaja Gue Penuh Bully

Namun sayangnya, niat tulus Stevens ini harus dihadapkan dengan masalah perizinan di kamp pengungsian itu.

Karena para wanita yang ada di sana diliputi dengan keraguan apakah Stevens datang dengan niat yang benar-benar tulus atau sekedar menawarkan janji palsu.

Tapi Stevens tetap tidak menyerah sampai akhirnya ia bertemu dengan seorang wanita pengungsi yang telah belajar bahasa Inggris.

Bersama-sama, mereka pergi dari pintu ke pintu di kamp pengungsian dalam rangka perekrutan.

Beberapa wanita berbicara dengan bahasa Kurdi, beberapa dengan bahasa Arab dan beberapa telah belajar bahasa Inggris.

Mereka meyakinkan para wanita lainnya untuk bergabung dengan mereka.

BACA JUGA Cerita Artis Raline Shah yang Diam-diam Punya Hobi Menulis Diary

Stevens memulai dengan membuka kelas kecil-kecilan, di mana para wanita akan duduk melingkar dan saling berdiskusi membicarakan keinginan masing-masing.

Para wanita berhak untuk bekerja.

Stevens menjelaskan jika ia melihat para wanita itu merasa nyaman dengan pekerjaannya sekarang sebagai seorang penenun.

Harapannya adalah agar orang-orang di seluruh dunia akan membeli tenunan mereka.

Memberikan para pengungsi akses keuangan sama dengan memberi kebebesan mereka untuk menentukan keputusan sederhana untuk diri mereka dan anak-anak.(*)