Di luar proses memasak nasi goreng, sebagai jenis makanan barangkali ia merupakan jenis yang mencerminkan kehidupan paling demokratis dan karakter nasional Indonesia.
Dari meja makan di kampung-kampung miskin sampai dengan meja makan di Istana Kepresidenan, dari sifatnya yang cuma pengisi sarapan sampai dengan pesta formal, nasi goreng tetap menjadi pilihan menu yang layak saji.
Di sini kita bisa membandingkan nasi goreng dengan steak atau wine Prancis, atau barangkali pastry dan lamb Inggris yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam kebudayaan makan nasional mereka.
(Baca juga: Putus dari Pria Bule, Vanessa Angel Kenalkan Pacar Baru Seorang Polisi)
Tidak seperti sayur sop, gudeg, rendang, atau gulai ikan yang bukan menu sehari-hari, dan terkadang tidak semua keluarga mampu menyajikannya, nasi goreng tetap bisa memberikan rasa kenyang bagi siapa saja orangnya, terlepas latar belakang sosial mereka.
Perbedaan tidak lebih dari sekadar rasa dan aneka tambahan yang apabila tidak disediakan tidak mengurangi sosoknya sebagai nasi goreng.
Jadi, di sini kita bisa menemukan sebuah bentuk masakan ‘lintas-kelas’ dan juga melintasi batas ‘publik-privat’. Nasi goreng dimasak di rumah-rumah saat pagi, atau kita bisa memesan nasi goreng pada malam hari di kedai-kedai di pinggir jalan dekat terminal sampai restoran kelas atas.
Kualitas lainnya nasi goreng juga dapat dengan bangga mengklaim sebagai jenis masakan yang meng-Indonesia.
(Baca juga: Intip Penampilan Anggun dan Cantiknya Marsha Aruan dalam Balutan Jumpsuit yuk!)
Boleh jadi ada nasi goreng Sumatera, nasi goreng Jawa, nasi goreng Banjar dan lainnya, tapi tetap saja nasi goreng.
Dari segi asal-usul, tidak jelas sejak kapan nasi goreng menjadi makanan yang begitu populer di seluruh nusantara.
Kata nasi goreng belum ditemukan dalam menu tradisional Jawa abad 18 dan 19.