Hari ini, revolusi energi masa depan dunia bergantung pada Republik Demokratik Kongo -- negara yang sarat konflik, korupsi akut nan merajalela dan perbudakan anak-anak
Grid.ID - Puluhan pria ini dikenal sebagai 'creuseurs' atau 'para penggali'.
Mereka bekerja selama 1 x 24 jam, menyusuri terowongan sempit sedalam 65 kaki, demi menambang sumber energi baru, kobalt.
Berbekal tangan kosong dan lampu depan di kepala, mereka mempertaruhkan nyawa.
Kobalt yang mereka cari di bawah tanah merupakan mineral yang menjadi komponen utama dalam baterai lithium-ion yang menyalakan ponsel, laptop, dan kendaraan listrik.
Seperti diketahui, baterai lithium-ion juga dikenal sebagai sumber energi yang dapat diisi ulang.
Kandungan emas modern bernama kobalt ini membuat salah satu daerah penghasil kobalt terbesar di dunia, ibukota Provinsi Lulaba di selatan Republik Demokratik Kongo, menjelma ladang mata pencaharian warga.
Warga setempat menggubah lingkungan tempat tinggal mereka jadi daerah pertambangan, menggali lantai dapur dan halaman belakang rumah mereka demi mencari kobalt.
Disebut Seratus Kali Lebih Cepat dari Jaringan 4G, Benarkah Jaringan 5G dapat Sebabkan Kanker?
Kobalt dan perbudakan anak
Dalam dua tahun terakhir harga kobalt di pasaran melonjak empat kali lipat.
Hal ini disebabkan membludaknya jumlah produksi gadget dan kendaraan transportasi.
Tentu ini memberikan keuntungan berlipat bagi negara-negara penghasil kobalt. Salah satunya Kongo.
Dua pertiga kobalt di dunia berasal dari Kongo. Namun kekayaan sumber daya alam ini tak berimbang dengan kondisi manusia dan negara yang mengalami konflik tak berkesudahan tersebut.
Pura-pura Ditembak Mati, Jurnalis Anti Rezim Putin Gagalkan Rencana Pembunuhan Dirinya
Penyakit korupsi akut membuat negara kaya ini jadi melarat.
Hal ini kian miris dengan fakta seperlima pekerja tambang kobalt, penghasil devisa terbesar di negara itu ternyata anak-anak.
Amnesty Internasional melaporkan terdapat sekitar 100 anak-anak yang bekerja di pertambangan kobalt.
Selain mengangkut kobalt, anak-anak itu juga dipekerjakan untuk mencuci dan menyortir bijih kobalt sebelum akhirnya kobalt dihaluskan dan dijual di pasaran.
Catat, Ini 4 Makanan yang Baiknya Tidak Dikonsumsi Selama Masa Kehamilan
Pekerjaan menyortir biji kobalt ini bukan tanpa aral, terlalu intens menghirup pecahan bijih kobalt dapat menyebabkan penyakit pernapasan. Bayangkan bagaimana anak-anak dibiarkan melakukan pekerjaan berbahaya itu.
Berkarung-karung kobalt tersebut diangkut dalam kendaraan menggunakan sepeda atau dipikul mengenakan pundak. Kobalt lantas dibawa ke pasar untuk kemudian dijual.
Nahas nyaris semua pialang pemburu kobalt -- yang kelak akan dijual ke raksasa teknologi dunia -- tidak mencari tahu lebih lanjut siapa yang menambang kobalt tersebut.
Tidak sedikit pihak yang mengecam pertambangan kobalt telah melanggar hak asasi manusia dan anak di Kongo.
Satu Juta Orang di Perancis Berhenti Merokok Tahun Lalu, Kok Bisa?
Amnesty Internasional bahkan mendesak perusahaan-perusahaan besar semacam Apple, Microsoft, BMW, Samsung, dan Volkswagen memutus mata rantai perbudakan anak dalam penggalian kobalt.
Sebab produksi kendaraan dan smartphone yang etis mencakup produksi yang memutus mata rantai pekerja anak dan perbudakan di dalamnya.
Dan hingga hari ini Amnesty Internasional bersama pemerintah Kongo masih terus bekerja keras memutus mata rantai itu. (*)