Grid.ID - Abdurrahman Taib (45) merupakan mantan napi teroris.
Abdurrahman terbukti melakukan tindak pidana terorisme dengan peran ketua kelompok teror di Palembang, Sumatera Selatan.
Tahun 2009, Abdurrahman lantas mendapatkan vonis pengadilan 12 tahun penjara.
Tapi Abdurrahman hanya menjalani hukuman penhara selama tujuh tahun karena pada 2015 ia mendapatkan kebebasan bersyarat.
BACA : Tahun 2022, India Akan Steril dari Plastik Sekali Pakai, Benarkah?
Usai bebas bersyarat Abdurrahman sadar dan menyesali perbuatannya dahulu.
Saat ini ia sudah kembali ke kampungnya di Keluruhan Suka Jaya, Kecamatan Suka Rame, Palembang.
Saban harinya Abdurrahman berjualan nasi dan mie goreng.
Pada Selasa lalu (5/6) Abdurrahman di Lapas kelas I Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur menceritakan pengalamannya di hadapan ratusan narapidana di sana.
Ia menceritakan bagaimana dirinya bisa masuk ke jaringan teroris.
BACA : Pesan Terakhir Razan Sebelum Tewas di Tangan Tentara Israel: 'Paramedis dan Wartawan Jadi Sasaran'
Awalnya, Abdurrahman mengaku bergairah untuk menjalankan perintah agama.
Ia pun mengaku mengikuti sejumlah pengajian keagamaan.
Semua yang ia lakukan awalnya sudah benar sesuai akidah.
Lantas ia terjerumus dengan dunia teror pada tahun 2004 saat berkenalan dengan pelarian kasus terorisme dari Singapura.
Melalui perkenalan itu, Abdurrahman mulai terpapar paham radikal. Ia diajari tentang jihad yang prakteknya salah kaprah.
"Sedikit sekali saya mempelajari tentang jihad. Yang saya ketahui hal yang tertinggi adalah jihad sehingga orang yang mati dalam berjihad masuk surga. Selain dari pada itu, saya belum berkenalan secara jauh tentang jihad," katanya seperti dikutip dari Kompas.com.
BACA : Letusan Gunung Api Fuego: 75 Warga Dinyatakan Tewas dan Ratusan Lainnya Hilang
Karena minimnya pengetahuan tentang ilmu agama, Abdurrahman menelan mentah-mentah saja apa yang diocehkan pelarian kasus terorisme itu.
"Apa yang dia sampaikan, saya tidak menbantah karena saya tidak paham tentang jihad sehingga apa pun yang disampaikan tentang jihad kita terima," ujarnya.
Sejak itu paham radikal menyelimuti otak Abdurrahman dan niat melakukan aksi teror mulai menyeruak.
Sekitar tahun 2005, Abdurrahman yang merupakan pemimpin kelompok Palembang mengembangkan sayapnya dengan memenuhi undangan Noordin M Top di Cilacap.
Noordin M Top merupakan gembong terorisme yang bertanggung jawab atas sejumlah aksi pengeboman di Indonesia.
Ia akhirnya tewas dalam penyergapan di Jebres, Solo, pada 16 September 2009.
"Setelah saya berkenalan dengan Noordin, saya diajari cara membuat bom. Macam-macam bomnya. Ada (bom) Tupperware dan pipa. Tinggal variasi saja. Ternyata buat bom gampang. Dan banyak yang sudah saya buat. ( Bom) 25 lebih di Palembang itu buatan saya dan teman saya. Kalau diledakkan lumayan juga," kata Abdurrahman.
Aksi teror yang gagal
Setelah mendapat pelatihan dari Noordin M Top yang merupakan teroris impor dari Malaysia, Abdurrahman bersama kelompoknya merencanakan aksi teror.
Sasarannya adalah sebuah kafe di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Tujuannya untuk membunuh warga asing yang dianggapnya kafir.
Abdurrahman mengaku diperintahkan untuk membunuh warga Amerika Serikat (AS) di mana pun berada oleh Noordin dan afiliasinya, Al Qaeda.
Sesampainya di kafe yang dimaksud, Abdurrahman malah mengagalkan sendiri pemboman itu.
Alasannya, ia melihat ada seorang perempuan berjilbab yang masuk ke dalam kafe tersebut.
"Ketika sudah akan diledakkan, mungkin Allah belum menghendaki diledakkan, masuk wanita berjilbab di dalam kafe yang banyak turis itu. Bom sudah siap. Tombol satunya sudah on, sudah tinggal satunya lagi," katanya.
"Setelah ditunggu (wanita berjilbab) tidak keluar-keluar, akhirnya gagal. Karena kita perhitungkan itu adalah saudara Muslim. Akhirnya bomnya di off-kan tidak terjadi hari itu. Besoknya dicoba lagi, ternyata gagal lagi," terangnya.
Bom yang dipakai Abdurrahman saat itu memakai detonator jarak jauh.
Hati nurani Abdurrahman sebenarnya menolak beberapa doktrin yang diajarkan oleh pelarian teroris dari Singapura itu.
Seperti menganggap polisi dan TNI adalah ansharut thaghut atau pembela kafir.
Tapi Abdurrahman tidak punya pengetahuan yang cukup untuk menyanggahnya.
"Tapi saya untuk menolak polisi, TNI, dan penegak hukum (bahwa) tidak kafir, saya tidak punya ilmunya karena di sekeliling saya alirannya begitu," katanya.
Abdurrahman mengaku tidak mudah mengubah pola pikir orang yang sudah terpapar paham radikal.
Hingga akhirnya, Farid Junaedi yang merupakan Kepala Lapas (Kalapas) Merah Mata Palembang waktu itu mendekatinya. Saat itu, Abdurrahman menjalani masa tahanan di lapas tersebut.
"Pak Farid ini mendekati kami sehingga kami menganggap sebagai manusia yang dimanusiakan," katanya.
Saat itu Farid yang sekarang menjadi Kepala Lapas Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur, memintanya untuk diajari mengaji oleh Abdurrahman.
Melihat kesungguhan Farid untuk belajar mengaji membuat Abdurrahman trenyuh.
Kondisi itu lantas menjadi salah satu penyebab Abdurrahman melepas paham radikal yang dianutnya.
"Awalnya saya yang ngajari memang. Tapi saya belum pernah mengamalkan ngaji sehari satu jus (Al Quran). Dia bisa sehari satu jus. Saya gurunya kok tidak bisa. Beliau ini Kalapas kemudian ngajinya baik, shalatnya baik, tahajud pula," katanya. Hubungan persahabatan dengan kalapas itu terus membaik dan Abdurrahman mendapatkan surat keputusan (SK) bebas bersyarat pada tahun 2015.(*)