Grid.ID - Mudik adalah kegiatan perantau/pekerja migran untuk kembali ke kampung halamannya.
Mudik di Indonesia identik dengan tradisi tahunan yang terjadi menjelang hari raya besar keagamaan misalnya menjelang Lebaran.
Pada saat itulah ada kesempatan untuk berkumpul dengan sanak saudara yang tersebar di perantauan, selain tentunya juga bertemu dengan orang tua.
Pilihan cara untuk kembali ke kampung halaman juga semakin beragam.
Ada yang naik kendaraan umum, ada pula yang memilih menggunakan transportasi umum.
Jika kembali ke masa lalu, seperti apa sejarah mudik?
Baca juga : Kehabisan Tiket Mudik? Coba 5 Tips Ini Agar Bisa Dapatkan Tiket Mudik Tambahan, Wajib Dicoba Nih!
Ternyata, ada cerita sejarah menarik di dalamnya.
Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Silverio Raden Lilik Aji Sampurno mengungkapkan bahwa mudik sudah ada sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam.
"Awalnya, mudik tidak diketahui kapan. Tetapi ada yang menyebutkan sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam, " Silverio yang dikutip dari Kompas.com.
Dulu, wilayah kekuasaan Majapahit hingga ke Sri Lanka dan Semenanjung Malaya.
Oleh karena itu, pihak kerajaan Majapahit menempatkan pejabatnya ke berbagai wilayah untuk menjaga daerah kekuasaannya.
Suatu ketika, pejabat itu akan balik ke pusat kerajaan untuk menghadap Raja dan mengunjungi kampung halamannya.
Hal ini kemudian dikaitkan dengan fenomena mudik.
Baca juga : Mau Mudik? Simak Yuk 8 Tips Packing Sederhana Ini
"Selain berawal dari Majapahit, mudik juga dilakukan oleh pejabat dari Mataram Islam yang berjaga di daerah kekuasaan. Terutama mereka balik menghadap Raja pada Idul Fitri," kata dia.
Istilah mudik sendiri baru tren pada tahun 1970-an.
Mudik merupakan sebuah tradisi yang dilakukan oleh perantau di berbagai daerah untuk kembali ke kampung halamannya.
Mereka kembali ke kampung halamannya untuk berkumpul bersama dengan keluarga.
"Mudik menurut orang Jawa itu kan dari kata Mulih Disik yang bisa diartikan pulang dulu. Hanya sebentar untuk melihat keluarga setelah mereka menggelandang (merantau)," ujar Silverio.
Baca juga : Inilah Daftar Tarif Tol Dari Jakarta Hingga Surabaya, Siapkan Saldo E-Toll Saat Mudik Lebaran
Selain itu, masyarakat Betawi mengartikan mudik sebagai "kembali ke udik".
Dalam bahasa Betawi, kampung itu berarti udik.
Saat orang Jawa hendak pulang ke kampung halaman, orang Betawi menyebut "mereka akan kembali ke udik".
Akhirnya, secara bahasa mengalami penyederhanaan kata dari "udik" menjadi "mudik".
Selain mengunjungi sanak keluarga di kampung halaman, saat mudik, para perantau juga melakukan ziarah ke kuburan sanak keluarganya.
Baca juga : Satlantas Polres Banyumas Siapkan Srikandi Bermoge, Jelang Mudik 2018
Hal tersebut dilakukan untuk meminta doa restu agar pekerjaan dan kehidupan di perantauan berlangsung baik.
Berbeda Dalam perkembangannya, mudik pada zaman dahulu dengan zaman sekarang terdapat perbedaan.
Pada zaman dulu, mudik dilakukan secara natural untuk mengunjungi dan berkumpul dengan keluarga.
Namun, menurut Silverio, pada era sekarang, perantau yang mudik sekaligus menunjukkan eksistensi dirinya selama di perantauan.
Mereka yang balik ke kampung akan membawa sesuatu yang membanggakan diri dan keluarganya.
"Pada era ini kebanyakan pemudik memaksakan diri untuk tampil sebaik mungkin, cenderung wah," kata Silverio. (*)
Baca juga : Pantau Arus Mudik Lebaran, Ratusan CCTV Dipasang Jasa Marga dan Departemen Perhubungan
Artikel ini juga tayang di Kompas.com dengan judul Kisah Menarik di Balik Sejarah Mudik...