Pimpinan tertinggi Korea Utara, Kim Jong Un akhirnya bertemu dengan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Melalui pertemuan itu keduanya mencoba mengakhiri tujuh dekade permusuhan dan ancaman konfrontasi nuklir.
Grid.ID - Selasa pagi di Singapura, pukul 9 waktu setempat, menyisir lorong yang berbeda, Kim Jong Un dan Donald Trump berjalan ke arah masing-masing.
Keduanya bertemu dan berjabat tangan. Senyum tersungging di wajah kedua pemimpin yang dalam setahun terakhir bersitegang dalam perang komentar. Pastinya, banyak kepentingan yang dipertaruhkan dari pertemuan keduanya.
Trump meletakkan tangannya di bahu Kim, keduanya menghadap kamera para jurnalis dan dunia tengah menyaksikan pertemuan bersejarah ini.
35 Tahun Menghilang, Anggota AU AS Ditemukan Kembali
AS ingin Korea Utara menghapus secara total program nuklirnya, sementara Korut ingin militer Amerika mundur dari semenanjung Korea.
Selain itu, Kim Jong Un ingin diakui di panggung dunia dan mendapatkan jaminan kekuasaannya tidak diganggu gugat.
Dalam 24 jam ke depan, kita masih menerka apa yang berhasil mereka rundingkan.
Berikut momen bersejarah pertemuan keduanya:
Apakah pelanggaran HAM di Korut akan disinggung?
Tidak ada kepastian apakah Trump akan membahas pelanggaran HAM berat yang terjadi di Korea Utara.
Sebagaimana diketahui, dinasti keluarga Kim Jong Un bertanggung jawab penuh atas kemiskinan dan pembunuhan massal yang terjadi secara bertahun-tahun di Korea Utara.
Laporan PBB menyebut pelanggaran hak asasi manusia di Korea Utara terjadi secara sistematis, berat dan merata.
Di bawah rezim otoriter, warga Korut diperas dan dipaksa tunduk pada keluarga Kim Jong Un.
La Casa Azul: Sarang Intelektual, Aktivis, dan Karya Seni Terkemuka Meksiko
Selama tiga generasi keluarga Kim Jong Un memimpin Korut, mengisolasi diri dari dunia, menciptakan negara yang kaku, militeristik, dan korup -- tak pernah berpihak pada rakyat.
Pemerintah Korea Utara mengontrol segalanya. Segala gerak-gerik warganya diawasi dengan ketat.
Sementara di sektor ekonomi dan pangan, rezim Jong Un memilih mengalokasikan dana untuk program nuklir dan misil, betapapun seluruh warganya kelaparan akibat kekurangan bahan pangan, serta kesulitan mengakses bahan bakar dan kebutuhan dasar lainnya.
Pengalokasian dana besar-besaran demi mengembangkan program nuklir tersebut hanya bisa dilakukan sebuah negara yang total otoriter macam Korut sebut Brad Addams, Direktur Human Rights Watch (HRW) Asia.
Brad mengistilahkan Kim Jong Un menjalankan rezimnya dengan "mengolah makanan dari perut warganya yang kelaparan."
Media dikontrol ketat
Hanya satu sumber informasi yang dihalalkan pemerintah Korut bagi warganya, yakni media resmi milik pemerintah Korea Utara.
Warga Korut tidak diperbolehkan membaca konten yang bersumber dari media internasional.
Laporan Reporters Without Borders menyebut warga yang ketahuan melihat, membaca dan mendengar konten media internasional akan dipenjara.
Belum lagi akses internet yang sangat minim dan hanya tersedia bagi kalangan eksekutif di ibukota, Pyongyang.
Orang yang Berjalan Kaki Lebih Cepat Memiliki Umur yang Lebih Panjang, Sains Menjelaskan
Anda berseberangan, kami penjara
Minimnya akses pada segala hal diperparah dengan represi pemerintah yang kelewat bengis.
Siapa saja di Korut, yang melakukan aktivitas mencurigakan dan dianggap berseberangan dengan pemerintah dapat dengan mudah dipenjara.
Di Korea Utara, memenjarakan seseorang karena alasan sepele bukan hal yang asing: dari sekadar mononton DVD, membaca artikel luar negeri, hingga mencabut poster propaganda pemerintah, segala yang dianggap berbahaya bagi rezim Jong Un layak diberangus.
Sementara bagi mereka yang membelot secara terbuka, hukumannya diperberat, dipenjara dan dikirim ke kamp kerja paksa, di daerah penambangan misalnya. Tak terkecuali dihukum mati. (*)