Minimnya akses pada segala hal diperparah dengan represi pemerintah yang kelewat bengis.
Siapa saja di Korut, yang melakukan aktivitas mencurigakan dan dianggap berseberangan dengan pemerintah dapat dengan mudah dipenjara.
Di Korea Utara, memenjarakan seseorang karena alasan sepele bukan hal yang asing: dari sekadar mononton DVD, membaca artikel luar negeri, hingga mencabut poster propaganda pemerintah, segala yang dianggap berbahaya bagi rezim Jong Un layak diberangus.
Sementara bagi mereka yang membelot secara terbuka, hukumannya diperberat, dipenjara dan dikirim ke kamp kerja paksa, di daerah penambangan misalnya. Tak terkecuali dihukum mati.
Kisah Pembelot Korea Utara, Melarikan Diri dan Makan Tikus Demi Bertahan Hidup
Donald Trump tidak lebih baik dari Kim Jong Un
Melalui KTT AS-Korut dunia seakan memberikan tanggung jawab besar pada Trump untuk menyelesaikan masalah kemanusiaan yang tak berkesudahan di Korea Utara.
Namun menilik yang terjadi di lapangan, harapan itu agaknya kelewat bombastis dan dilebih-lebihkan.
Bagaimana mungkin seorang pelanggar HAM yang menyerukan supremasi kulit putih, ujaran kebencian pada ras minoritas, pemberi dukungan penuh pada Israel yang mengukuhkan kekuasaan mereka di atas penderitaan rakyat Palestina, diberi tanggung jawab mulia menyelesaikan pelanggaran HAM di Korea Utara yang tak kalah mengerikan?
Belum lama ini kita tentu masih ingat bagaimana Trump menerapkan kebijakan yang tak berperikemanusiaan pada imigran gelap di AS.
Mengenal Ignaz Semmelweis dan Alasan Pentingnya Cuci Tangan Sebelum Lakukan Operasi