Lute sependapat dengan Hodges bahwa mobilisasi pasukan dan transportasinya merupakan masalah besar bagi AS dan NATO di Eropa.
"Malah, saya melihat transportasi merupakan gejala untuk masalah yang lebih besar di Eropa yang sudah bukan lagi kawasan bebas dan aman," tutur Lute.
Hal ini terbukti ketika tahun 2017 lalu ketika AS melakukan latihan perang dengan Jerman.
Saat itu, Komandan skuadron kendaraan tempur AFV Stryker, Letkol Adam Lackey, berkisah dia mendapat perintah harus menempatkan ranpur itu ke Georgia.
BACA : Lagi, Seekor Buaya Gegerkan Warga Jakarta Setelah Terlihat di Kali Angke
Menempuh perjalanan darat, Leckey dan rombongan harusnya bisa sampai di tempat tujuan dalam dua pekan.
Kenyataannya rombongan baru sampai empat bulan kemudian karena berbagai masalah birokrasi.
Antara birokrasi itu adalah regulasi berbeda di Hongaria dan Romania soal standar penguncian kendaraan tempur, serta protokol Jerman yang rumit tentang cara mengangkut ranpur ke kereta.
Belum lagi jika harus melewati regulasi negara non-NATO maka akan tambah runyam lagi birokrasinya.
Di sana, militer AS harus menunggu selama tiga pekan sebelum mendapat pemberitahuan berisi izin melintasi negara Skandinavia tersebut.
"Jika Anda tidak bisa sampai di lokasi konflik kurang dari 45 hari, Anda bisa dikatakan kalah perang," beber Mayjen Steven Shapiro, kepala komando penyokong mobilisasi AS di Eropa.
Sedangkan dari pihak Rusia tampaknya mereka akan mengandalkan pasukan payungnya 'Vozdushno-desantnye voyska Rossii' (VDV) yang mampu dikirim secara cepat melalui udara dan akan diterjunkan bersama tank BMD-4M dari pesawat Ilyushin 76 mereka.
Karena Rusia pun berpikir bahwa mobilisasi dan transportasi pasukan daratnya juga akan mengalami gangguan sama seperti NATO dan AS.
Well, masih berdebat soal Su-35 vs F-35 siapa yang akan menang dalam duel udara jika masalah transportasi pasukan saja sudah sangat pelik?(Seto Aji/Grid.ID)