Sementara, risiko penyakit jantung koroner tidak hanya disebabkan tingginya kadar kolesterol total, tapi juga rasio kolesterol total dibandingkan dengan kadar kolesterol “baik”.
Jika jumlah kolesterol “baik” terlampau kecil, risiko datangnya penyakit jantung koroner menjadi lebih tinggi.
Nah, jika kita main hantam kromo dengan menelan obat-obatan penurun kadar kolesterol, dikhawatirkan ada kolesterol “baik” ikut jadi korban.
Padahal, mereka dibutuhkan untuk mengurangi risiko penyakit jantung koroner.
(Baca Juga :Heboh! Mumi Berusia 2.000 Tahun Ditemukan Bersama Harta Kekayaannya )
Para peneliti juga pernah melakukan pengujian biokimia perihal dua molekul “baik” dan “jahat” itu.
Hasilnya, mereka memang menemukan adanya “cara kerja” yang berseberangan. Meski kedua molekul sama-sama bekerja mengangkut kolesterol, arah yang mereka tuju ternyata berlawanan.
“Si jahat” membawa kolesterol menuju pembuluh darah koroner, berbaur, dan tumbuh menjadi kepingan yang berpotensi memicu sakit jantung koroner.
Namun sebaliknya, “si baik” mengangkut kolesterol keluar dari pembuluh darah, mengangkutnya menuju hati, kemudian membuangnya seperti kita membuang sampah.
(Baca Juga :Seperti ini Rupa Artis Senior Widyawati 45 Tahun Lalu, Cantiknya Awet!)
Kabarnya, satu molekul baik HDL sanggup menumbangkan satu molekul jahat LDL. Tapi itu cerita masa lalu. Sekali lagi, masa lalu.
Dr. Daniel Rader yang melakukan penelitian paling akhir ternyata mulai meragukan peran penting kolesterol “baik” itu.