“Masalahnya tak sesederhana itu,” kata Daniel, peneliti kolesterol di Universitas Pennsylvania, AS. “Benar, HDL tinggi memang menguntungkan, tapi tidak membuatnya mutlak melindungi dan membuat tubuh kebal terhadap penyakit jantung koroner,” jelasnya.
Rader memberi contoh sejumlah pasiennya yang mempunyai banyak stok kolesterol “baik” di tubuhnya.
“Mereka punya HDL tinggi, tapi tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Ujung-ujungnya, mereka juga terserang penyakit jantung,” tutur Rader.
“Makanya, saya benar-benar tidak habis mengerti, jika pengobatan untuk menurunkan tingginya jumlah LDL ditunda hanya karena HDL-nya tinggi juga,” imbuhnya.
Untuk menyembuhkan pasien jantung koronernya, Rader kini mulai mengesampingkan peran sang kolesterol “baik”. Dia betul-betul berkonsentrasi pada upaya mengusir kolesterol buruk.
(Baca Juga :5 Trik Sederhana Nan Keren, Siasati Kamar Mandi Sempit Jadi Nyaman)
Soalnya, menghilangkan kolesterol “jahat” butuh usaha yang jauh lebih besar ketimbang memperbanyak kolesterol “baik”. Kolesterol “jahat” hanya bisa dikurangi lewat upaya medis.
Sedangkan kolesterol “baik” bisa ditingkatkan dengan pola hidup sehat, tidak merokok, berolahraga teratur, menjaga berat badan dan pola makan, serta mengonsumsi vitamin dalam buah dan sayur yang kaya antioksidan.
Tingkat HDL rata-rata untuk pria biasanya 40 – 50 mg/dl, sedangkan wanita 50 – 60 mg/dl.
Di Amerika Serikat, jika kolesterol “buruk” seseorang masih sekitar atau mendekati 100 mg/ dl, masih dibilang aman. Tapi jika mencapai 100 - 129 mg/dl, sudah masuk kategori di atas angka optimal.
Terakhir, kalau peningkatannya jauh lebih pesat, sampai di atas 130 mg/dl, sebaiknya berhati- hati, karena sudah kelewat tinggi. Apalagi jika kadar kolesterol “baik”-nya juga lebih kecil.
Atau, jumlahnya sama, tapi seperti disitir Rader, cuma bisa “menonton” dari kejauhan. Segera datangi dokter.(*)
(Baca Juga :Intip Rumah Mewah Lionel Messi yang Capai Rp 64 Miliar Lebih)
Artikel ini telah tayang di Intisari Online dengan judul Arief Rivan Meninggal Dunia: Ternyata Kolesterol ‘Baik’ Tak Selalu Baik Untuk Cegah Serangan Jantung