Grid.ID - Pada 1980-an,keadaan kota dipenjuru Indonesia sedang tidak aman. Belum lagi aparat keamanan yang dibuat gerah dengan maraknya aksi premanisme yang saat itu populer dengan sebutan gabungan anak liar (Gali).
Pada tahun 1980-an di berbagai kota di Indonesia saat itu aparat keamanan sedang dibuat gerah oleh maraknya aksi preman jalanan yang populer dengan sebutan gabungan anak liar (gali) sehingga sampai menganggu roda perekonomian RI.
Misalnya, kawasan terminal sudah dikuasai para gali sehingga para penguasaha bus terus mengalami kerugian, banyaknya begal yang membajak bus dan truk di jalanan, dan lainnya.
(Baca Juga :Mau Liburan? Simak Lima Tips Packing Yang Bisa Muat Banyak )
Berdasar prestasi yang berhasil diraih Polda Metro maka Pak Harto lalu memerintahkan agar segera dibentuk tim yang beranggotakan aparat TNI/Polri (ABRI) untuk melaksanakan operasi penumpasan kejahatan terhadap para begal yang makin marak dan sadis itu.
Hingga tahun 1982 Polri di bawah pimpinan Kapolri Jenderal Awaloedin Djamin telah melakukan berbagai operasi penumpasan kejahatan seperti Operasi Sikat, Linggis, Operasi Pukat, Operasi Rajawali, Operasi Cerah, dan Operasi Parkit di seluruh wilayah Indonesia serta berhasil menangkap 1.946 penjahat.
Meski sudah banyak penjahat yang diringkus operasi penumpasan kejahatan terus berlanjut seperti yang dilaksanakan oleh Komando Daerah Militer (Kodim) 0734 Yogyakarta di bawah pimpinan Kolonel Muhamad Hasbi,
Kolonel Hasbi saat itu (1983) menyatakan perang terhadap para preman atau gali yang ulahnya makin meresahkan masyarakat Yogyakarta dengan cara menggelar Operasi Pemberantasan Keamanan (OPK) bekerja sama dengan intelijen AD, AU, AL dan kepolisian.
(Baca Juga :Bak Keajaiban, 10 Foto Fantastis Berikut Diambil Dari Bawah Laut)
Kodim Yogyakarta lalu melakukan pendataan terhadap para gali melalui operasi intelijen dan para gali yang berhasil didata diwajibkan melapor serta diberi kartu khusus.
Setelah mendapat kartu para gali tersebut dilarang bikin ulah lagi tapi juga harus mau memberitahukan para gali lain yang kerap melakukan kejahatan dan tidak mau melapor.
Meski OPK yang digelar aparat keamanan di Yogyakarta sudah diketahui masyrarakat, setiap ada mayat yang ditemukan di pinggir jalan, tepi hutan, bawah jembatan, dan lainnya, mayat dengan luka tembak itu kerap dinamai sebagai korban penembakan misterius (petrus) yang kemudian istilah ‘petrus’ itu menjadi sangat populer sekaligus menakutkan.
Kinerja OPK yang dilaksanakan di Yogyakarta ternyata mendapat perhatian khusus dari Kepala Intelijen RI LB Moerdani dan dikomentari sebagai ‘kerja bagus dan lanjutkan!’.
Cara penanganan gali dengan cara OPK pun diterapkan di berbagai wilayah di Indonesia dan korban ‘petrus’ pun bertumbangan di mana-mana.
Yang pasti OPK memang terbukti efektif menumpas para gali dan sebenarnya juga mendapat dukungan dari masyrakat luas.
(Baca Juga :Terduga Pelaku Bom Pasuruan Terekam Kamera CCTV di Stasiun Bangli!)
Hingga kini masyarakat kadang masih mengharapkan munculnya ‘petrus’ untuk menangani aksi kejahatan yang makin marak dan brutal.
Terkait OPK yang sukses di era Orde Baru, Presiden Soeharto dalam buku otobiografinya bertajuk Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, ‘petrus’ditujukan untuk menimbulkan efek jera kepada para penjahat.
‘Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu itu bukan lantas dengan tembakan, begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya, mau tidak mau harus ditembak,’ ujarnya dalam buku yang terbit pada 1989 itu. (*)
Artikel ini telah tayang di Intisari Online dengan judul Ketika Para Begal Bertumbangan Oleh Penembak Misterius di Zaman Pak Harto