Laporan Wartawan Grid.ID, Andika Thaselia Prahastiwi
Grid.ID - Final Piala Dunia 2018 tadi malam (15/7/2018) antara Prancis dan Kroasia menyisakan banyak cerita.
Dari kemenangan Prancis atas Kroasia dengan skor final 4-2.
Hingga momen romantis Presiden Kroasia dan pelatih Timnas Kroasia di tengah hujan di akhir pertandingan.
Tapi ada satu kelompok berseragam yang tiba-tiba meneroboh di tengah jalannya pertandingan, kemudian membuat geger aparat serta kedua tim sepak bola.
Berjumlah empat orang, ternyata mereka mengenakan seragam khas polisi Rusia dan bergegas masuk ke lapangan pada menit ke-52.
Siapakah mereka sebenarnya?
Ternyata sekelompok orang tersebut adalah anggota dari band wanita beraliran punk bernama 'Pussy Riot'.
Mereka sudah tak asing lagi berada di hingar-bingar serangkaian protes di Rusia, terutama yang berbau politik.
Baca : Netizen Ramai-ramai Nostalgia Hari Pertama Sekolah di Twitter
Karena memang itulah tujuan band ini dibentuk : menyuarakan ketidakpuasan atas Pemerintah Rusia, terutama pemerintahan Vladimir Putin.
Berbasis di Moskwa (Moscow), Rusia, mereka bahkan tak jarang menempatkan diri sebagai oposisi dari presiden Vladimir Putin.
Dalam melancarkan aksinya kali ini, salah seorang anggota Pussy Riot bahkan sempat melakukan selebrasi tos bersama pemail Prancis Kylian Mbappe.
Ada pula yang justru terlibat adu mulut dengan pemain Kroasia, Dejan Lovren.
Baca : Dilaporkan Hilang, Ternyata Wanita Ini Jatuh dari Tebing Bersama Mobilnya
Tak berselang lama, aksi ini pun terhenti setelah para anggota Pussy Riot diamankan oleh petugas.
Saking 'ngeyel'-nya mereka bahkan sampai harus dibopong dan ditarik keluar dari lapangan.
Pussy Riot pertama kali dibentuk pada Agustus 2011.
Terbentuknya Pussy Riot sebenarnya dimotori oleh salah satu anggotanya, Nadezhda Tolokonnikova.
Baca : Tak Terima Bantuannya Ditolak, Elon Musk Sebut Salah Satu Tim Penyelamat di Gua Thailand 'Pedofil'
Menurut data di Wikipedia, Tolokonnikova beserta suami, Pyotr Verzilov, dan Samutsevich pada awalnya adalah aktivis dari gerakan anarkis bernama Voina pada 2007 lalu.
Namun pada tahun 2009, mereka terpecah dan diikuti dengan kelahiran Pussy Riot pada 2011 tersebut.
Beberapa anggotanya bahkan sudah tak asing lagi dengan dinginnya jeruji penjara, seperti Maria Alyiokhina dan Nadezhda Tolokonnikova.
Melansir dari artikel terbitan The Sun, keduanya pernah dipenjara selama 21 tahun setelah melancarkan protes anti-Putin di Katedral Kristus, Moskwa, 2012 lalu.
Baca : Jatuh dari Lantai 20, Bocah 5 Tahun Ini Tergelantung Selama Setengah Jam
Maria Alyiokhina juga pernah dipenjara kembali pada tahun 2017 di Yakutsk, Siberia, setelah melakukan aksi protes lainnya terkait penahanan pegiat film Ukraina, Oleg Sentsov.
Tak hanya kepada pemerintahan di Rusia saja, Pussy Riot juga pernah melakukan protes kepada pemerintahan Amerika Serikat lewat lagu-lagu mereka yang berjudul 'Make America Great Again' dan 'Police State' pada tahun 2016.
Selain itu, Pussy Riot juga gencar memberikan dukungan terhadap gerakan feminisme dan LGBT terutama di Rusia.
Pussy Riot tidak mengelak atas aksinya yang dilakukan di final Piala Dunia 2018 yang bertempat di Stadion Luzhniki tersebut.
Justru mereka dengan bangga mengklaim bahwa aksi mereka ini dilakukan untuk membawa beberapa poin protes terkait politik di Rusia.
Protes-protes tersebut antara lain mengenai pembebasan tahanan politik, penangkapan ilegal, dan beberapa tuntutan lainnya demi terbentuk politik yang sehat di Rusia. (*)