Grid.ID - Pernah kah kamu berpikir apa yang terjadi pada tubuh kita setelah kita meninggal?
Tentunya pemikiran kita akan samar-samar mengenai hal tersebut. Namun bagi beberapa orang memilih untuk merealisasikannya sebagai pengamatan nyata.
Pada awal tahun 1970-an, para ilmuwan forensik yang bertugas pada kasus-kasus kriminal hanya bisa mengamati mayat menggunakan bangkai babi.
(Baca Juga :Ternyata Hal ini yang Membuat Manusia Belum Bisa Tinggal di Mars)
Hal itu karena secara fisiologis, mereka mirip dengan manusia.
Bahkan sekarang, banyak negara di luar AS masih memanfaatkan bangkai babi untuk penelitian semacam itu.
Namun pada tahun 1972, seorang pria bernama Dr. William Bass melakukan revolusi dalam dunia forensik.
Ide Bass ini muncul karena awalnya dia ditugasi untuk menyelidiki kasus lokal terkait jenazah dari era Perang Sipil.
Bass membuat analisis yang salah dengan menyatakan jenazah adalah milik orang baru.
Padahal jenazah yang dimaksud memang prajurit Perang Sipil yang awet karena pembalseman dan peti besi yang tertutup rapat.
(Baca Juga :Seorang Anak Terkunci Dalam Mobil, Orangtuanya Justru Lakukan Hal ini)
Atas kesalahannya, Bass sadar masih dibutuhkan penelitian seputar dekomposisi manusia.
Alhasil, berdirilah perkebunan mayatnya di tanah universitas.
Tempat itu kemudian dapat digunakan oleh para peneliti untuk meninggalkan tubuh manusia yang disumbangkan agar terurai dalam berbagai kondisi untuk diamati.
Di antara sejumlah perkebunan mayat di Amerika, ribuan mayat membusuk di bawah pengawasan para peneliti.
Di University of Tennessee saja, ada lebih dari 1.800 mayat dan tambahan 4.000 orang yang telah mendaftar untuk menyumbangkan tubuhnya usai meninggal kelak.
Para peneliti akan menyetor tubuh (biasanya telanjang, tetapi tidak selalu) di lokasi tertentu sesuai dengan jenis penelitian yang mereka coba lakukan.
Terkadang tubuh dibiarkan di bawah sinar matahari terbuka, namun kadang di tempat teduh, atau di rumput tinggi.
Peneliti kadang melindungi mayat dengan kawat agar terlindung dari burung, tapi kadang sengaja di tempatkan di daerah terbuka.
Untuk mengamati contoh mayat korban pembunuhan, peneliti juga memposisikan mayat dalam berbagai situasi.
Kadang ia ditinggalkan terendam di tangki air, diikat ke pohon, atau bahkan ditempatkan di dalam batang mobil.
Sementara itu, stasiun cuaca memantau semua faktor yang relevan termasuk suhu dan kelembaban dan peneliti bertugas memantau proses dekomposisi.
(Baca Juga :Raja Muslim ini Berhasil Lolos dari 55 Kali Upaya Pembunuhan Dirinya)
Bagaimana Tubuh Terdekomposisi
Ketika seseorang pertama kali meninggal, cairan di dalam sel mereka bocor dan bakteri akan mulai.
Bakteri kemudian mengubah cairan dan padatan di dalam tubuh menjadi gas yang menyebabkan tubuh membengkak.
Pada tahap ini, yang dicapai dalam beberapa hari setelah kematian, tubuh bisa membengkak menjadi hampir dua kali lipat dari ukuran sebelumnya.
Sementara itu, produksi bakteri sulfur juga memberi warna yang aneh, kekuningan pada tubuh.
Saat itulah lalat tiba dan bertelur yang akan menetas menjadi belatung untuk melanjutkan mengkonsumsi daging.
Kemudian, sekitar tiga hari setelah kematian, tubuh memasuki tahap pembersihan.
Ketika tubuh mengerut, ia mengeluarkan cairan yang sangat kaya nitrogen sehingga dapat mematikan rumput di sekitarnya dan meninggalkan area hitam.
(Baca Juga :Jangan Beli Ponsel Android Dengan Tipe Berikut, Bisa Rugi Nantinya)
Setelah itu, belatung dan bakteri akan memakan semua daging dalam beberapa minggu.
Dari titik ini mayat akan terus mengering hingga menyisakan tulang pada bulan ke enam.
Terobosan yang dilakukan di perkebunan mayat dapat membantu pihak berwenang menemukan mayat yang hilang.
Lebih jauh, ini juga membantu peneliti untuk memahami necrobiome atau jenis rantai makanan ang berperan ketika tubuh manusia terurai. (*)
Artikel ini telah tayang di Intisari Online dengan judul Mengintip Perkebunan Mayat: Saat Ribuan Mayat Dibiarkan Membusuk, Diikat di Pohon, Hingga Direndam