Grid.ID - Kemeriahan dan kemewahan pembukaan Asian Games 2018 pada Sabtu 18 Agustus 2018, sukses menarik banyak perhatian.
Banyak orang mengaku puas sekaligus bangga dengan upaya Indonesia sebagai tuan rumah perhelatan ajang olahraga terbesar se-Asia ini.
Berbagai pujian pun mengalir baik dari warga dalam negeri maupun luar negeri.
Namun siapa sangka, bila dibalik kesuksesan tersebut terselip sebuah kisah kelam.
Dilansir dari Kompas.com, Amnesty International Indonesia mencatat aparat kepolisian telah menembak mati lebih dari 70 orang dalam operasi memberantas kejahatan jalanan di berbagai kota di seluruh Indonesia menjelang pelaksanaan Asian Games 2018.
(Baca Juga: Donald Trump Gendot Serangan, Tak Mau Kalah Turki Naikkan Tarif Pada Produk AS)
Penembakan ini terjadi selama rentang waktu Januari dan Agustus 2018.
Setidaknya ada 77 orang di berbagai wilayah di Indonesia yang ditembak mati, termasuk 31 orang di Jakarta dan Palembang tempat Asian Games 2018 akan diselenggarakan.
Banyaknya penembakan tersebut terjadi dalam operasi yang yang dirancang mempersiapkan kota tuan rumah yang aman selama berlangsungnya acara.
Namun, Usman Hamid selaku Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia mengatakan bahwa polisi menembak mati puluhan orang dengan akuntabilitas yang rendah.
“Beberapa bulan menjelang Asian Games, pihak berwenang berjanji meningkatkan keamanan masyarakat. Tapi, kami justru melihat polisi menembak mati puluhan orang dengan akuntabilitas yang rendah,” ujar Usman dalam keterangan tertulisnya, Jumat (17/8).
Selain itu Ia melihat bahwa angka-angka penembakan yang mengejutkan ini mengungkapkan pola penggunaan kekuatan polisi yang berlebihan, serta betapa lembaga keamanan secara konstan tak tersentuh hukum.
(Baca Juga: Asian Games 2018 Membuat Korut dan Korsel Dalam Satu Bendera, Warga Korea Berharap Konflik Memudar)
"Penyelenggaraan acara olah raga internasional tidak boleh mengorbankan hak asasi manusia. Tembak mati harus dihentikan dan semua kasus kematian harus diselidiki dengan cepat dan efektif," tegasnya.
Menurut pengakuan Usman, angka tembak mati mencapai puncaknya pada 3-12 Juli 2018.
Dimana dalam rentang waktu itu, 11 orang di Jakarta dan 3 orang di Palembang ditembak mati polisi sebagai bagian dari operasi pengamanan untuk mempersiapkan kota-kota penyelenggara Asian Games 2018.
"Di Jakarta, selain mereka yang dilaporkan tewas, ada 41 orang ditembak di kaki dan sekitar 700 dari 5000 orang yang ditangkap disangka melakukan tindak kriminal," ungkap Usman.
Aksi penembakan ini memang secara tegas pernah disampaikan oleh pejabat tinggi polisi sebelum operasi Cipta Kondisi digelar.
Dimana secara terbuka diumumkan, aparat akan mengambil tindakan tegas termasuk menembak di tempat orang yang melawan atau menyerang petugas.
Walaupun kebijakan tersebut sempat menuai kritikan, tetapi Kapolri menegaskan kembali keputusannya pada 30 Juli bahwa aparat kepolisian tak ragu untuk menembak mati pelaku kriminal yang melawan petugas.
(Baca Juga: Wishnutama Ajak Jokowi Makan Bakso Agar Mau Tunggangi Moge Saat Pembukaan Asian Games 2018)
Jumlah orang yang tewas ditembak oleh polisi di Indonesia akibat kejahatan jalanan dari Januari hingga Agustus 2018 meningkat 64% dibandingkan periode yang sama pada 2017 yaitu 47%.
“Polisi jelas menerapkan kebijakan ‘tembak dulu dan bertanya belakangan’," ujar Usman.
Untuk itu, Usman meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Komisi Kepolisian Nasional harus segera melakukan penyelidikan menyeluruh, tidak memihak, dan independen terhadap praktek tembak mati tersebut.
Semua yang dicurigai sebagai pelaku kejahatan harus dibawa ke pengadilan, tidak terkecuali mereka yang berada di dalam rantai komando.
Amnesty International juga menyerukan pihak berwenang Indonesia serta badan olahraga nasional dan internasional mengambil semua langkah yang diperlukan, untuk memastikan pelanggaran hak asasi manusia tidak terjadi karena Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 2018.
"Di bawah hukum hak asasi manusia internasional, Indonesia diwajibkan untuk selalu menghormati dan melindungi hak hidup setiap orang dan memiliki kewajiban untuk melakukan investigasi yang cepat, menyeluruh, dan efektif terhadap dugaan pelanggaran hak hidup," jelas Usman.
(Baca Juga: Sangat Sederhana, Ini Potret Rumah Si Pemanjat Tiang Bendera yang Tengah Viral)
Menurut Usman, hukum dan standar hak asasi manusia internasional menetapkan bahwa aparat penegak hukum hanya dapat menggunakan kekerasan ketika benar-benar diperlukan, proporsional, dan sejauh yang dibutuhkan untuk keperluan penegakan hukum yang sah.
Penggunaan kekuatan mematikan yang disengaja seperti senjata api hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir, dan hanya ketika tidak dapat dihindari untuk melindungi nyawa atau cedera berat.
Masalah penembakan yang dilakukan oleh polisi Indonesia ini pun telah banyak dimuat dan menjadi perhatian di berbagai media asing. (*)