Grid.ID – Seperti pertunjukan wayang kulit yang mampu menampilkan permainan bayang-bayang, orang Jawa cenderung senang memakai lambang tertentu untuk menyampaikan suatu pengertian.
Berikut ini kita simak tulisan Julius Pour yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi September 1975, dengan judul Ronggowarsito Sudah Meramalkan Hari Kematiannya.
Baca Juga : Patung kecil di Mobil Raffi Ahmad ini Seharga Satu Mobil Baru loh!
--
Suasana kehidupan di dalam lingkungan Kraton Solo pada pertengahan abad ke XIX, secara politis memang sulit. Meskipun demikian, dilihat dari perkembangan kesusasteraan Jawa, pertumbuhannya kelihatan cerah.
Pangkat yang lumayan, jabatan yang terhormat serta kedudukan yang menentukan dalam segala masalah surat-menyurat untuk kepentingan Raja masa itu, menyebabkan pergaulan Ronggowarsito semakin meluas.
Untuk kepentingan menanamkan pengaruh, Belanda juga menempatkan seorang penterjemah dalam lingkungan Kraton. Hubungan Ronggowarsito dengan mereka, atas dasar pangkat yang sama sebagai penterjemah, tetap baik.
Melihat kemampuan dan ketrampilannya mengajarkan bahasa Jawa, seorang sarjana Belanda C.F. Winter putera dari J.W. Winter penterjemah di dalam Kraton, meminta agar sebuah jabatan selaku Guru Besar Bahasa dan Kesusasteraan Jawa bisa diisi.
Baca Juga : Jadi Selebgram Tajir, Ini Potret Modis dan Seksi Anya Geraldine yang Bikin Pria Jatuh Hati
Baca Juga : Ngobrol dan Dirangkul Choi Siwon, Isyana Sarasvati Mengaku Sampai Lupa Napas!
Meskipun memperoleh janji imbalan gaji sebulan 1.000 Gulden, selama 12 tahun dengan jaminan hak pensiun separo gaji dan berbagai fasilitas lain, Ronggowarsito tetap tidak mau menerima tawaran menjadi Mahaguru di negeri Belanda.
Hanya satu alasannya, ia tidak mau meninggalkan kota Solo dan tidak bisa mengabdi kepada Sunan yang sedang bertahta. Untuk mengisi lowongan Guru Besar tersebut, ditunjuknya salah seorang murid. Yang dengan rekomendasi Ronggowarsito, terus memegang jabatan Mahaguru dinegeri Belanda sampai dipensiunkan.
Pujangga ini tidak hanya bergerak terbatas dalam penulisan buku-buku. Sebuah penerbit bernama Harteveld & Co, di tahun 1855 mencari seorang tenaga ahli bahasa Jawa guna menerbitkan sebuah koran.
Baca Juga : Perhatian, Tubuh Memberikan Sinyal ini Jika Kita Mengidap Tumor Otak
Setelah melakukan konsultasi ke sana-kemari, dan menyampaikan permintaan kepada pihak Kraton. Akhirnya Sunan Paku Buwono ke VII, memberikan ijin kepada Ronggowarsito untuk membantu penerbitan koran tersebut.
Dengan segala susah payah, nomor pertama koran Bromartani mampu diterbitkan pada tanggal 29 Maret 1855. Terbit setiap hari Kamis, berhuruf Jawa. Sayang sekali, hanya mampu mencatat jumlah langganan 300 orang lebih sedikit. Bromartani tidak bisa bertahan lama. Setahun kemudian terpaksa menghentikan penerbitan.
Memasuki jaman edan
Dilihat dari banyaknya buku yang pernah ditangani, Ronggowarsito memang penulis produktip. Ia mampu menulis aneka macam masalah, sejak dari pengetahuan tentang kesusasteraan, filsafat, ramalan, sejarah, primbon sampai kepada masalah pendidikan.
Baca Juga : Cara Licik China 'Menjajah' Negara-Negara yang Lebih Kecil Darinya
Beberapa naskah asli tulisan tangannya, sampai hari ini masih tersimpan dan bisa disaksikan. Tercatat ada 12 buku yang ditulis lewat tangannya. Termasuk dalam kelompok ini adalah kitab Paramasastra, dimana pada baris terakhir dihiasi gambar seekor ular kecil. Sebagai tanda seorang Pujangga.
Selain ini, ada dua buku bukan karangannya, tetapi ditulis oleh Ronggowarsito. Kedua buku tersebut, Panitisastra pelajaran tentang pendidikan dan Barotoyudho kisah peperangan keluarga Pandawa.
Sebenarnya hasil karya moyangnya, Kyai Yasadipuro ke I, kemudian ditulis kembali dan disalin oleh Ronggowarsito pada tahun 1864.
Di samping dua kelompok di atas, ada 21 buku yang bukan asli tulisan tangan Ronggowarsito, tetapi diyakini sebagai karyanya. Keyakinan tersebut dilakukan berdasar penelitian mengenai gaya bahasa, sandi-asma yang terjalin di dalamnya atau lewat sangkalan tahun pembuatan buku yang diterakan.
Baca Juga : Tanggapan Member SNSD Tentang Nama Unit Oh!GG yang Terdengar Unik
Dari kelompok ini, yang terkenal misalnya berjusul Witaradya, Kalatida dan Joyoboyo. Kecuali pengelompokan seperti tersebut di muka, ada 13 buku tulisan Ronggowarsito sudah sempat diterbitkan dalam ujud cetakan. Beberapa diantaranya sudah termasuk kelompok diatas.
Beberapa lagi semisal buku berjudul Sidin pengetahuan tentang kesusasteraan dicetak oleh HG Bomm Amsterdam pada tahun 1882. Dan buku berjudul Saridin, mengetengahkan pendidikan kesusilaan, dicetak oleh Muller, Nederland ditahun 1858.
Manakah buku karangan Ronggowarsito yang paling menonjol? Sulit disebutkan secara pasti, karena ada beberapa alasan yang membatasi disamping soal selera. Buku berjudul Pustaka Raja misalnya, cukup mengesankan. Karena keluar sampai sebanyak 29 buku, terbagi dalam 9 jilid dengan jumlah halaman tidak kurang dari 2.000.
Atau buku Sabdajati, yang berisi tembang Megatruh. Dimana pada pupuh ke 16 sampai ke 19, Ronggowarsito dalam puisinya telah menyebutkan secara jelas bahwa ia akan meninggal dunia pada Rebo Pon, tanggal 5 Dulka'idah tahun 1802. Lengkap dengan saat kematiannya, waktu dhuhur, serta perhitungan-perhitungan lain.
Baca Juga : Perhatian, Tubuh Memberikan Sinyal ini Jika Kita Mengidap Tumor Otak
Walaupun demikian, untuk orang awam, mereka merasakan lebih dekat dengan karya Ronggowarsito berjudul Kalatida, terutama kepada pupuh ke 7 dalam naskah tersebut. Dimana pujangga ini menulis tentang adanya jaman edan. Mengapa ia sampai menyebutnya demikian?
Terlibat indikasi
Pupuh ke 7 dari Kalatida berbunyi:
A menangi jaman edan, ewuh aya ing pambudi, Melu edan nora tahan, yen tan melu anglakoni, soya kaduman melik, kaliren wekasanipun, Oilalah kersa Allah, begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling Ian waspada.
Terjemahan bebasnya kurang lebih adalah:
Mengalami jaman edan, sangat mempersulit segala usaha, ikut gila tidak tahan, tapi jika tidak ikut, lenyap kemungkinan mendapatkan hasil, yang terjadi hanyalah kelaparan. Meskipun demikian takdir kehendak Tuhan, betapapun bahagia mereka yang terlupa, masih berbahagia mereka yang sadar dan waspada.
Mungkin, ada mereka yang tetap menduga, jaman edan yang disebutkan oleh Pujangga Ronggowarsito berlaku masa kini. Tegasnya, tahun 1975 adalahh jaman edan. Tentu saja, kemungkinan semacam itu tetap tidak tertutup. Orang bebas menduga dan memperkirakan, kapan jaman edan berlangsung.
Baca Juga : Kisah Volunteer Asian Games 2018, dari Tak Dibayar Hingga Dibentak
Meskipun demikian, dilihat dari situasi yang melatarbelakangi Ronggowarsito, di kala ia menyelesaikan buku Kalatida, lebih banyak kecenderungan menduga, jaman edan yang ia maksudkan, justru berlangsung dimasa ia menuliskan karangannya tersebut.
Suasana Kraton Surakarta yang semakin menyuram, lingkungan Istana yang main intrik, menambah beban di hatinya. Perasaannya yang halus terluka, mengapa segala kebobrokan justru berkuasa. Mengapa keadilan justru harus dikalahkan oleh segala keangkaraian. Apalagi keadaan tersebut, secara langsung harus diderita Ronggowarsito.
Sri Susuhunan Paku Buwono ke IX, yang memangku jabatan sejak tahun 1862, mungkin Raja baik.
Tetapi bagaimanapun besar penghargaannya terhadap Pujangga Kraton Surakarta, yang sudah diangkat sejak Sunan terdahulu pada tahun 1845, Sunan tetap mempunyai dugaan keras, keluarga Ronggowarsito, termasuk salah satu keluarga di lingkungan Kraton yang diindikasikan sebagai menyetujui pengasingan Susuhunan Paku Buwono ke IV ke pulau Ambon.
Baca Juga : Kisah Balita 22 Bulan yang Hilang Dalam Hutan Selama 4 Hari, Begini Kondisinya Saat Ditemukan
Ini mengakibatkan Raja tetap mengambil jarak tertentu dengan Ronggowarsito. Begitulah yang terjadi, akibat "jaman edan" yang berkuasa dalam lingkungan Kraton Solo, meskipun sang Pujangga sejak tahun 1845 sudah menggantikan kedudukan kakeknya.
Tetapi pangkatnya dalam jenjang kepegawaian tetap hanya seorang Penewu Carik Kliwon. Dan pangkat tersebut tetap tidak berubah, sampai akhirnya Ronggowarsito meninggal dunia tanggal 24 Desember 1873. Sesuai dengan yang telah ia tulis sendiri dalam kitab Sabdajati, dihari Rebo Pon.
Meninggal dalam kekecewaan luar biasa, Ronggowarsito akhirnya menemukan peristirahatan terakhir di desa Palar, kecamatan Trucuk, kabupaten Klaten, 40 Km barat daya Kraton Solo. Sebuah dusun yang sepi, di tengah-tengah rakyat biasa yang mungkin tetap masih menduga-duga, kapan jaman edan berakhir.
Jauh dari kota, diluar kesibukan dan kemesuman lingkungan Kraton. Lingkungan yang telah diabdinya sampai akhir hayat, tetapi ternyata tidak menghargai secara layak. Di lingkungan kuburan desa sederhana, daerah tempat asal usul ibu kandungnya.
Baca Juga : Kisah Tragis Abdul Manan yang Harus Kehilangan Setengah Tempurung Kepalanya
Ronggowarsito mungkin merasa lebih puas daripada ia terpaksa hidup dari berkarya dalam lingkungan intrik serta fitnah disebalik tembok Kraton yang megah.
Pujangga yang telah menyelesaikan lebih dari 30 buku, menulis tentang berbagai bidan dan masalah. Mengabdi dalam masa pemerintahan enam orang Raja, sejak diangkat selaku pegawai paling rendah dibidang kesenian oleh Sri Susuhunan Paku Buwono ke IV sampai IX, meninggal dunia dalam masa kekuasaan Sunan Paku Buwono ke IX.
Nama baik dan kedudukannya baru dipulihkan setahun setelah ia terkubur di perut bumi. Dengan ucapan terima kasih terhadap segala sumbangannya, Sri Susuhunan Paku Buwono ke XII pada tanggal 17 April 1952 menganugerahkan pangkat Bupati Anom di samping tambahan gelar sebagai Kanjeng Raden Tumenggung.
Sayang sekali, segalanya mungkin telah terlambat. Ronggowarsito sudah tidak sempat menikmati.(*)
Artikel ini telah tayang di Intisari Online dengan judul Ronggowarsito, Pujangga Kraton Surakarta yang Ramalkan Datangnya 'Zaman Edan', Kapan Itu Terjadi?