Diduga, orang pertama yang berkenalan dengan tanaman ini adalah orang Maluku yang menyebutnya daun boba dan orang Minahasa yang menyebutnya leietokan.
Karena Maluku dan Minahasa adalah daerah pertama di Indonesia yang dijajah oleh Spanyol dan Filipina.
Baca Juga : Sang Suami, Ajay Devgn Akui Belum Pernah Menonton Film Tersukses Kajol
Dari Maluku, ceplukan kemudian dibawa ke berbagai wilayah Indonesia lainnya termasuk Jakarta.
Awalnya, jenis yang datang ialah Physalis angulata dan Physalis minima yang tumbuh sebagai gulma di ladang kering, kebun buah-buahan, semak-semak belukar dan di tepi jalan.
Setelah itu, masuk Physalis peruviana dari daerah pegunungan Peru yang berbeda dari dua jenis ceplukan sebelumnya.
Ceplukan Peru bisa bertahan hidup lebih dari satu musim.
Ia juga mudah dibedakan dari jenis lainnya karena bunganya yang lebih besar dengan bintik-bintik berwarna cokelat tua.
Selain dimakan secara dalam keadaan buah segar, ceplukan juga dijadikan selai untuk oleh orang-orang Belanda pegunungan.
Physalis peruviana kemudian dibawa orang Belanda VOC ke Eropa dengan sebutan kaapse kruisbes (cape goosberry) dan bukan sebagai ceplukan Peru.
Orang-orang Belanda mengira bahwa tanaman ini hidup asli di Kaape de Goede Hoop (Tanjung Harapan) di ujung selatan Afrika.
Baca Juga : Jadi Korban Gempa Palu, Maia Estianty Ungkap Rasa Duka Untuk Temannya