"Sejak 2012 nggak ada yang beroperasi, padahal dibutuhkan untuk peringatan dini," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho.
Awalnya, Indonesia memiliki 22 unit buoy. Namun menurut Sutopo Purwo Nugroho, semua buoy sudah tidak ada yang beroperasi.
Tidak adanya biaya pemeliharaan dan operasi menyebabkan buoy tidak berfungsi sejak 2012. Tidak hanya rusak namun juga hilang.
Menurut Sutopo Purwo Nugroho, kerusakan buoy sudah tentu memengaruhi akurasi dan kecepatan peringatan dini tsunami.
Baca Juga : Cerita Tetangga Tentang Sosok Kakak Syahrini yang Meninggal Kesetrum
Pentingnya Buoy
"Dengan adanya buoy, kita bisa secara tepat dan cepat menentukan ada tidaknya tsunami, kita juga bisa mengetahui daerah mana yang akan paling parah dihantam tsunami," kata Sutopo.
"Sehingga penanganan bencana pun bisa lebih fokus." tambahnya.
Menurut BMKG tanpa buoy sebenarnya peringatan dini tsunami juga bisa dilakukan. Namun akan lebih baik jika ada buoy.
Terutama dalam masalah kecepatan dan akurasi data, termasuk berapa banyak populasi yang bisa selamat.
Baca Juga : Respons Nia Ramadhani ketika Disebut Tak Pandai Jaga Anak
Artinya, buoy sangat penting untuk membuat keputusan peringatan dini tsunami yang memberikan waktu bagi warga pesisir untuk menyelamatkan diri.
Konsekuensi Tanpa Buoy Meski bisa dilakukan tanpa buoy, tetapi ada konsekuensi besar ketika tidak ada alat ini.
Desember 2017 lalu misalnya, guncangan gempa dirasakan warga di pesisir selatan Jawa. Gempa ini kemudian diikuti peringatan dini Tsunami di Pesisir Pangandaran, Jawa Barat yang belum berakhir selama berjam-jam.
Ini terjadi karena tidak ada bouy yang dapat melaporkan secara aktual tinggi permukaan laut. Peringatan dini tsunami baru berakhir setelah tiga jam, tanpa adanya tsunami. Berbeda dengan di Palu. Ketinggian gelombang saat menghantam daratan pada peringatan dini tsunami sebelum berakhir tidak bisa dipastikan karena tidak adanya buoy. (*)