Laporan Wartawan Grid.ID, Ngesti Sekar Dewi
Grid.ID– Gempa dengan magnitudo 7,7 membuat Kota Palu dan Donggala luluh lantah. Tak sampai disitu, Dampak dari gempa yang berpusat di kedalam 10 km ini menghasilkan tinggi ombak yang menyapu beberapa wilayah di Palu dan Donggala.
Tingga ombak yang melebihi dari prediksi membuat banyak korban berjatuhan, sebelumnya BMKG hanya mengetahui ketinggian hingga cepatnya gelombang laut ke daratan melalui skenario tsunami yang telah diperhitungkan.
Akibatnya, tsunami yang menghantam kota Palu tersebut membuat kaget banyak pihak karena ukuran kekuatan yang lebih besar dari prediksi.
Baca Juga : Tsunami Palu Tak Terdeteksi, Baterai Cadangan Tak Berfungsi Hingga Alat Deteksi Banyak Dicuri
Sebenarnya, tinggi gelombang tsunami bisa diukur secara akurat dengan alat pendeteksi tsunami dini. Namun sayangnya keberadaan alat tersebut di Indonesia sudah tidak ada lagi sejak 2012.
Diketahui jika Indonesia sebenarnya memiliki 21 Deep-Ocean Tsunami Detection Buoy yang dihibahkan Jerman, Amerika Serikat dna Malaysia. Namun kini keberadaan alat tersebut sudah tidak ada lagi.
Ketiadaan alat yang mengapung di laut itu mengharuskan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi potensi tsunami pasca gempa berdasarkan metode pemodelan.
Artinya, perkiraan tsunami itu dihitung dalam perangkat lunak, berdasarkan pusat kedalaman dan magnitudo gempa.
Baca Juga : Adelia Pasha Rindu Anak-anaknya, Delia Septianti: Dia Sibuk Bantu Korban di Sana
BMKG telah mengidentifikasi 18.000 skenario tsunami yang bisa terjadi kapan saja.
Ketika terjadi gempa, Stasiun Geofisika merekam getaran bumi. 170 sensor yang terpasang di daratan mengirimkan datanya ke Pusat Gempa Nasional di Jakarta untuk mengetahui kekuatan dan pusat gempa.
Pada waktu yang sama, tujuh stasiun sistem pemosisian global (GPS) di pesisir Sumatera bagian barat dan Jawa bagian selatan mengukur data pergeseran permukaan bumi yang disebabkan gempa.
Baca Juga : Curahan Delia Septianti yang Sangat Terpukul Melihat Kondisi Adelia Pasha dan Korban Gempa Palu Lainnya
Dengan bantuan satelit navigasi, data itu terkirim dengan akurat.
Data yang sudah terekam akan dielaborasi dengan pembanding skenario yang dihitung sebelumnya, dari sini peringatan dini tsunami bisa diputuskan dalam hitungan detik.
Cara Kerja Buoy
Skenario tersebut bisa ditegaskan dengan data dari buoy. Cara kerjanya, alat pengukur tekanan gelombang di dasar laut mendeteksi secara cepat dan langsung dilaporkan ke buoy yang berada di atas permukaan laut.
Tinggi gelombang yang akan terhempas menuju pesisir secara akurat dapat dilaporkan buoy. Data aktual itu diterima satelit, alarm peringatan dini sudah bisa diaktifkan.
"Sebelum masuk ke daratan, buoy mencatat dan mengirim data kepada kami (BMKG), lalu kami bisa putuskan dan mempertegas sistem peringatan dini." Kata Kepala Pusat Gempa dan Tsunami BMKG, Rahmat Triyono.
Dengan demiian menurut Rahmat Triyono, buoy dapat mengetahui langsung secara aktual data di lapangan.
Baca Juga : Buka-Bukaan Kamera Samsung Galaxy Note9, Ini Jepretan Low Light
Tinggal Kenangan
Namun buoy kini tinggal cerita. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut Indonesia tidak lagi memiliki buoy untuk mendeteksi tsunami sejak 2012 silam.
"Sejak 2012 nggak ada yang beroperasi, padahal dibutuhkan untuk peringatan dini," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho.
Awalnya, Indonesia memiliki 22 unit buoy. Namun menurut Sutopo Purwo Nugroho, semua buoy sudah tidak ada yang beroperasi.
Tidak adanya biaya pemeliharaan dan operasi menyebabkan buoy tidak berfungsi sejak 2012. Tidak hanya rusak namun juga hilang.
Menurut Sutopo Purwo Nugroho, kerusakan buoy sudah tentu memengaruhi akurasi dan kecepatan peringatan dini tsunami.
Baca Juga : Cerita Tetangga Tentang Sosok Kakak Syahrini yang Meninggal Kesetrum
Pentingnya Buoy
"Dengan adanya buoy, kita bisa secara tepat dan cepat menentukan ada tidaknya tsunami, kita juga bisa mengetahui daerah mana yang akan paling parah dihantam tsunami," kata Sutopo.
"Sehingga penanganan bencana pun bisa lebih fokus." tambahnya.
Menurut BMKG tanpa buoy sebenarnya peringatan dini tsunami juga bisa dilakukan. Namun akan lebih baik jika ada buoy.
Terutama dalam masalah kecepatan dan akurasi data, termasuk berapa banyak populasi yang bisa selamat.
Baca Juga : Respons Nia Ramadhani ketika Disebut Tak Pandai Jaga Anak
Artinya, buoy sangat penting untuk membuat keputusan peringatan dini tsunami yang memberikan waktu bagi warga pesisir untuk menyelamatkan diri.
Konsekuensi Tanpa Buoy Meski bisa dilakukan tanpa buoy, tetapi ada konsekuensi besar ketika tidak ada alat ini.
Desember 2017 lalu misalnya, guncangan gempa dirasakan warga di pesisir selatan Jawa. Gempa ini kemudian diikuti peringatan dini Tsunami di Pesisir Pangandaran, Jawa Barat yang belum berakhir selama berjam-jam.
Ini terjadi karena tidak ada bouy yang dapat melaporkan secara aktual tinggi permukaan laut. Peringatan dini tsunami baru berakhir setelah tiga jam, tanpa adanya tsunami. Berbeda dengan di Palu. Ketinggian gelombang saat menghantam daratan pada peringatan dini tsunami sebelum berakhir tidak bisa dipastikan karena tidak adanya buoy. (*)