Laporan Wartawan Grid.ID, Ulfa Lutfia Hidayati
Grid.ID - Belum lama ini, publik dihebohkan dengan berita penganiayaan yang dilakukan terhadap aktivis Ratna Sarumpaet.
Ratna Sarumpaet digembar-gemborkan telah mengalami pengeroyokan saat berada di Bandung.
Mencuatlah foto Ratna Sarumpaet dengan wajah bengkak dan babak belur yang tersebar luas di media sosial.
Baca Juga : Ratna Sarumpaet Akui Berbohong, Awalnya Hanya untuk Alasan Kepada Anak-anaknya
Usut punya usut, dilansir Grid.ID dari Kompas.com terungkap fakta baru bahwa Ratna terekam CCTV tengah mengunjungi RS Kecantikan di kawasan Menteng.
Hal ini pun membuat banyak pihak yang berspekulasi bahwa luka bengkak yang dialami Ratna Sarumpaet merupakan efek setelah operasi plastik.
Lantas, apa sih yang membuat publik mudah sekali termakan berita hoaks ini?
Hoaks atau berita bohong memang masih menjadi persoalan yang sering dialami oleh masyarakat Indonesia.
Perkembangan teknologi yang kian canggih turut berpengaruh terhadap cepatnya penyebaran hoaks.
Terlebih sekarang kamu bisa dengan mudah membagikan berbagai konten dan berita melalui smartphone via media sosial atau applikasi chatting.
Baca Juga : Ratna Sarumpaet Akui Operasi Plastik, Netizen Banjiri Kolom Komentar Rachel Maryam
Penyebaran berita bohong alias hoaks memang menjadi hal merugikan.
Hoaks bisa memicu kesalahpahaman karena berita tersebut tidak memiliki sumber yang jelas sehingga tidak bisa dikonfirmasi kebenarannya.
Menurut pandangan psikologis dilansir Grid.ID dari Kompas.com, terdapat dua faktor yang membuat seseorang cenderung mudah percaya dengan hoaks.
Baca Juga : Ratna Sarumpaet Bohong, Gibran Rakabuming Raka Tanggapi Permintaan Maaf Rachel Maryam
Alasan pertama hoaks mudah menyebar adalah karena informasi di dalamnya sesuai dengan opini atau pemikiran yang dimiliki seseorang.
“Orang lebih cenderung percaya hoaks jika informasinya sesuai dengan opini atau sikap yang dimiliki. Misal seseorang memang sudah tidak setuju terhadap kelompok tertentu, produk, atau kebijakan tertentu. Ketika ada informasi yang dapat mengafirmasi opini dan sikapnya tersebut, maka ia mudah percaya,” ujar Laras Sekarasih, PhD, dosen Psikologi Media dari Universitas Indonesia.
Laras juga menyatakan bahwa terbatasnya pengetahuan turut memengaruhi seseorang agar mudah termakan hoaks.
Baca Juga : Ratna Sarumpaet Bohong, Sengaja Mengarang Cerita Setelah Ditanya Anak Soal Wajahnya yang Lebam
“Tidak adanya prior knowledge tentang informasi yang diterima bisa jadi memengaruhi seseorang untuk menjadi mudah percaya,” katanya.
Selain itu, penyebaran berita bohong melalui media sosial akhirnya membuat semua kalangan bisa terpengaruh berita hoaks.
Menurut Laras, rentan atau tidaknya seseorang terhadap hoaks lebih tergantung pada kemampuan berpikir kritis, mengevaluasi informasi, dan literasi media, bukan hanya kemahiran memanfaatkan teknologi informasi.
(*)