Find Us On Social Media :

Gempa Donggala, Kisah Dokter Spesialis Naik Perahu di Tengah Ombak Besar

By None, Selasa, 9 Oktober 2018 | 14:40 WIB

Pasien sedang diperiksa (Foto: Ganshi Wasono)

Grid.ID - Di tengah bencana Gempa Donggala, Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga (RSTKA) sedang menjalani misi sosial pelayanan kesehatan oleh dokter spesialis.

Diawali dari Pulau Nusa Penida, Pulau Alor hingga saat ini ke lokasi gempa Donggala, dokter spesialis sudah menangani 912 pasien orang pasien.

Dari jumlah tersebut, dokter spesialis menangani 188 orang pasien lewat tindakan operasi.

Jenis tindakan operasi yang dilakukan dokter spesialis meliputi operasi katarak, hernia, teroid, amandel, persalinan cesar, bibir sumbing, tumor jinak, sampai bedah tulang.

“Tetapi dari sekian banyak operasi yang mendominasi adalah ketarak. Mungkin karena mereka tinggal kawasan pantai sehingga sering terpapar sinar ultraviolet yang bisa berdampak munculnya katarak,” kata dr. Agus Harianto, SpB, direktur RSTKA.

Baca Juga : Prihatin, Ratu Elizabeth II Sumbang Uang Pribadi Rp59,7 Miliar untuk Korban Gempa Donggala dan Palu

Sementara dokter yang terlibat dalam misi kali ini meliputi dokter umum, kendungan, anak, orthopedi, bedah, anestesi, bedah plastik, penyakit dalam, saraf, THT, internist, perawat serta penyuluh dari fakultas kesehatan masyarakat.

Agus Harianto menjelaskan sebenarnya misi ke kemanusiaan ini mengalami perubahan mendadak.

Setelah dari Alor seharusnya dilanjutkan ke Pulau Lirang, Wetar, Kisar, Leti, Moa, Lakor, Luang Barat, Luang Timur, Sermata, Masela, Babar, Tepa, Banda, Ambon, dan berakhir di Wakatobi pada 2 Nopember baru kemudian kembali Surabaya.

Tetapi rencana perjalanan itu mendadak berubah ketika selesai dari Alor dan hendak menuju ke kawasan pulau-pulau terluar tersebut tiba-tiba bencana gempa dan tsunami datang melanda Palu dan Donggala.

Karena dua lokasi bencana tersebut dianggap perlu mendapat pelayanan kesehatan mendesak maka akhirnya RSTKA putar haluan diarahkan ke lokasi bencana.

“Nanti dua minggu setelah kegiatan pelayanan di Donggala dan Palu selesai, RSTKA akan kembali berlayar lagi menuju kawasan pulau terluar untuk memberi pelayanan yang sempat tertunda,” kata Agus.

DOKTER SPESIALIS DENGAN KAMAR OPERASI

Sementara Herry Hasanuddin, Ketua III Yayasan Baitul Mal PLN yang menjadi salah satu donatur yang membiayai operasional RSTKA menjelaskan salah satu pertimbangan YBM PLN menyalurkan dana kepada RSTKA.

RSTKA dianggap bisa melayani kebutuhan akan pelayanan kesehatan pada masyarakat di pulau terpencil khususnya di kawasan Indonesia timur yang selama ini belum tersentuh pelayanan kesehatan yang memadai.

Dan pelayanan itu tidak sekadar pelayanan kesehatan biasa tetapi yang penanganannya dilakukan oleh dokter spesialis termasuk dengan bagi pasien yang memerlukan tindakan operasi yang tidak memungkinkan dilakukan oleh dokter umum.

Baca Juga : Gempa Palu Donggala, Ratu Elizabeth Pun Ikut Prihatin dan Beri Bantuan

“Itu menjadi poin penting ketika kami memutuskan menyalurkan sumbangan yang berasal dari donasi karyawan PLN kepada RSTKA,” imbuh Herry.

Bagi masyarakat di kepulauan terpencil yang menderita sakit yang memerlukan penaganan dokter spesialis apalagi harus dilakukan tindakan operasi selama ini mengalami kesulitan.

Bukan hanya faktor biaya saja yang sangat besar tetapi keberadaan mereka yang jauh terpencil menjadi masalah sendiri.

Salah satu contoh sederhana saja, bagi masyarakat terpencil yang menderita sakit katarak pasti kesulitan untuk mencari kesembuhan sebab dimana daerah mereka bertempat tinggal tidak ada dokter mata apalagi perlengkapan operasinya.

Akibatnya karena tidak ditangani lama kelamaan ujungnya akan mengalami kebutaan. “Itu baru soal katarak padahal kan masih sederet lagi jenis sakit yang memerlukan tindakan operasi, mulai hernia, tumor dan sebagainya,” papar Herry.

Sementara RSTKA bisa menjawab tantangan itu. Mulai kapalnya sendiri yang memiliki ruang operasi layaknya standar ruang operasi di rumah sakit pada umumnya serta setiap misi berjalan di dalamnya didukung oleh tenaga dokter spesialis.

Baca Juga : Juara KDI 2018, Abi Akan Beri Sebagian Hadiahnya Untuk Korban Gempa Palu dan Donggala

Sehingga ketika RSTKA menjalankan misi di suatu pulau maka persoalan kesehatan masyarakat setempat relatif terselesaikan.

“Sistem jemput bola itu dianggap sangat efektif. Bukan pasien yang mendatangi rumah sakit tetapi sebaliknya rumah sakit beserta tim dokter yang mendatangi lokasi pasien,” papar Herry.

Herry melihat sendiri ketika RSTKA melakukan misi pelayanan ke Pulau Sapeken, Madura, beberapa bulan lalu.

Saat itu ribuan pasien termasuk ratusan diantaranya dilakukan tindakan operasi dari berbagai jenis sakit tertangani dengan baik.

Jumlah pasien begitu banyak karena pasien bukan hanya berasal dari Pulau Sapeken saja tetapi warga yang berada di pulau sekitarnya datang ke sana.

Yang membuat Herry kagum untuk menuju pulau tersebut sekitar 90-an tenaga medis dan paramedis yang datang dari Surabaya itu harus naik perahu dengan ombak yang cukup tinggi.

“Jadi tidak sekadar modal kemampuan serta fasilitas RSTKA saja tetapi kesungguhan para dokter bela-belain mau datang menangani pasien dengan menerjang kondisi alam yang cukup berat menuju lokasi pelayanan itu juga patut diapresiasi,” cerita Herry. 

Herry lebih jauh menjelaskan YBM PLN memiliki lima pilar program utama yaitu meliputi, sosial kemanusiaan, kesehatan, pendidikan, pemberdayaan ekonomi dan dakwah.

Baca Juga : 4 Fakta Penemuan Jenazah Atlet Paralayang yang Jadi Korban Gempa Donggala, Datang untuk Mengikuti Festival

Dalam musibah gempa dan tsunami di Palu dan Donggala ini YBM PLN selain mengalokasikan dana untuk kesehatan juga ada alokasi untuk sosial kemanusiaan yang diwujudkan dalam bentuk berbagi sembako.

Ada makanan siap saji, pakaian, selimut, terpal, kebutuhan anak-anak sebesar Rp 2 milyar, Rp 1 milyar untuk dana kesehatan yang Rp 500 diantaranya disalurkan melalui RSTKA.

Untuk kasus tertentu seperti yang terjadi di Palu, Donggala maupun gempa Lombok yang terjadi sebelumnya YBM PLN juga memberi bantuan lanjutan paska bencana.

“Misalnya sekitar sebulan atau dua setelah bencana berlalu kami punya tim yang akan mengunjungi lagi lokasi bencana. Jika ada masyarakat yang membutuhkan rumah, misalnya maka kita akan bantu membangun tempat tinggal baru, tapi tentu siapakah yang paling berhak kami punya kriteria,” imbuh Herry.

Gandhi Wasono M.