Parapuan.co- Jaman dahulu, ternyata ada satu perempuan muslim yang sangat ditakuti oleh Eropa
Perempuan tersebut bernama Sayyida Al Hurra.
Namanya memang tidak pernah disebut dalam sejarah kebudayaan Islam.
Namun namanya tetap abadi berkat perjuangan dan kegigihannya.
Melansir Kompas.com yang tayang di Parapuan.co, Sayyida Al Hurra lahir di Iberia, Spanyol pada tahun 1485 Masehi.
Pada abad 15 dan 16, ia dikenal sebagai seorang bajak laut wanita yang paling ditakuti.
Ayahnya adalah seorang kepala suku yang berasal dari keluarga bangsawan.
Ia berhasil mendidik Sayyida Al Hurra dengan pendidikan terbaik.
Kemudian Sayyida Al Hurra memperdalam pengetahuan dengan belajar teologi, bahasa dan matematika di masanya.
Baca juga: Lewat IFMA 2016, Captain Suarniati Ingin Dukung Karier Pelaut Perempuan
Al Hurra sendiri merupakan gelar yang dinisbatkan pada Sayyida, yang berarti mulia, bebas dan mandiri.
Al Hurra juga berarti bahwa Sayyida adalah perempuan yang tidak tunduk pada otoritas mana pun.
Ia juga merupakan menjadi bajak laut Muslim perempuan pertama di dunia karena tak ingin melupakan jatuhnya Granada dan bersumpah akan membalas kekalahannya, merebut kembali Andalusia dari penjajah.
Meski begitu, iatidak bisa menyerang Spanyol dan Portugis secara langsung, ia mampu mendatangkan bahaya pada perdagangan laut dua negara tersebut melalui pembajakan.
Lalu seperti apa sosok Sayyida Al Hura? Simak ulasannya di bawah ini!
Perjalanan hidup Sayyida Al Hurra sebagai pemimpin perempuan
Menurut Tribunnews.com, Sayyida al-Hurra, yang masih berusia 7 tahun, bersama keluarganya terpaksa melarikan diri ke Maroko dan menetap di Chaouen saat kerajaan Islam Granada di Spanyol ditaklukkan oleh Ferdinand dan Isabella.
Kemudian saat usia Sayyida Al Hurra 16 tahun, ia menikah dengan Sultan al Mandri.
Keduanya sama-sama gigih dalam berperang melawan Portugis.
Baca juga: Hari Kowal, Mengenal Malahayati Si Laksmana Laut Perempuan Pertama
Namun pada 1515 M, suaminya meninggal dan membuat Sayyida harus menggantikan posisi sang suami sebagai gubernur Tétouan.
Sebagai seorang gubernur perempuan, kepemimpinan Sayyida al-Hurra sungguh mengagumkan.
Ia bahkan mendapat pujian dari Ratu Spanyol Isabella sebagai perempuan Andalusia yang kuat.
Tak hanya itu, Sayyida Al-Hurra dikenal cerdas dalam memainkan taktik politik dan diplomasi dengan Spanyol serta Portugis.
Usai menjadi gubernur, Sayyida kemudian menduduki posisi sebagai Ratu Maroko karena menikah lagi dengan sultan Maroko penguasa Fes, Ahmed al-Wattasi.
Masih menyimpan dendam karena tanahnya direbut oleh Ferdinand dan Isabella, Sayyida kemudian bersekutu dengan Barbarossa al Algeirs yang merupakan seorang Kanselir Turki untuk menguasai jalur laut di Eropa dan Timur Tengah.
Sayyida kemudian berhasil mengambil alih Mediterania Barat.
Sejak saat itu, ia dikenal sebagai ratu bajak laut yang ditakuti di seantero Eropa pada awal abad ke-16.
Menurut Laura Sook Duncombe, penulis Pirate Women: The Princesses, Prostitutes and Privateers Who Ruled the Seven Seas, Sayyida Al Hurra dipandang sebagai "bajak laut yang brutal dan menakutkan."
Baca juga: Malahayati, RA Kartini, Butet Manurung: Wanita Pejuang Indonesia
Namun Sayyida punya trauma terhadap ras yang menjajahnya dahulu.
Hal itu membuat dirinya berperilaku kejam terhadap orang-orang Kristen hingga membuat mereka menjadi budak.
Tentu saja hal ini bukanlah hal yang baik.
Dari situ, ia mendapat reputasi monster dan menjadi ratu bajak laut yang memikat dan menakutkan sepanjang sejarah.
Sayyida menunjukkan kepada dunia bahwa ia memiliki kapasitas untuk berkuasa.
Ia bahkan mempelopori aliansi yang mendorong umat Islam untuk bersatu melawan kolonisasi Eropa di Maroko.
Sementara itu, orang Eropa melihat Sayyida dan para perompak sebagai seorang pencuri dan pembunuh.
Namun Ottoman memandang mereka sebagai "pejuang kemerdekaan yang berdiri di garis depan."
Sayyida membuktikan bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin bajak laut yang tak terbantahkan di Mediterania Barat.
Namun, seperti pada umunya seorang penguasa, Sayyida juga tidak lepas dari uang dan permainan politik.
Kebesaran namanya pun harus tumbang ditangan menantu laki-lakinya sendiri yang melakukan kudeta pada 1542.
Sejak saat itu, Sayyida kembali ke kampung halamannya di Chefchaouen hingga meninggal dengan tenang pada 1561. (*)