Find Us On Social Media :

Mengenal Apa Itu Quiet Quitting, Fenomena Bekerja Sewajarnya Saja

By Aulia Firafiroh, Jumat, 2 September 2022 | 14:05 WIB

Parapuan.co- Kamu mungkin sudah tidak asing dengan istilah quiet quitting yang banyak beredar di media sosial.

Istilah ini dipakai untuk menggambarkan perilaku pekerja yang saat ini memilih untuk bekerja sewajarnya saja.

Melansir Kompas.com yang tayang di Parapuan.co, fenomena ini menggambarkan perilaku para pekerja yang melakukan semua pekerjaan mereka dengan batas minimal.

Pada dasarnya, mereka tetap bekerja sesuai dengan tanggung jawab pekerjaan dan permintaan atasan.

Namun mereka melakukan dengan sewajarnya saja dan tidak bekerja terlalu keras.

Biasanya, pekerja yang bersikap quiet quitting biasanya tidak mau untuk bekerja lembur atau melakukan pekerjaan di luar jam bekerja.

Mereka juga menganggap loyalitas atau kesetiaan terhadap suatu pekerjaan bukanlah hal yang penting.

Fenomena quiet quitting juga bentuk perlawanan terhadap hustle culture yang menuntut para pekerja bekerja keras untuk meraih kesuksesan.

Lalu, Bagaimana Fenomena Quiet Quitting Muncul?

Baca juga: Kenali Dampak Buruk Akibat Toxic Productivity Terhadap Kinerja Kerja

Fenomena ini muncul karena adanya perubahan perilaku dan pola pikir para pekerja selama pandemi Covid 19.

Hal itu juga dipengaruhi adanya perubahan sistem kerja yang selama pandemi menerapkan sistem work from home (WFH) dan hybrid.

Selama bekerja pada masa pandemi, banyak pekerja muda merasa kurang mendapat apresiasi, pengakuan, dan kompensasi atas kerja kerasnya.

Akhirnya muncul sebuah sikap untuk menolak bekerja terlalu keras hingga melupakan kehidupan pribadi.

Perilaku quiet quitting bertujuan untuk menciptakan work life balance, bekerja sesuai porsinya, dan kesejahteraan fisik serta mental. 

Pendapat Ahli Soal Fenomena Quiet Quitting

Menurut Jaya Dass selaku direktur pelaksana perusahaan HRD Ranstad, melihat fenomena ini sebagai cara para pekerja untuk mengatur kehidupan pribadi dan pekerjaan agar seimbang.

“Apa yang dulunya merupakan tantangan pasif agresif dari work life balance sekarang menjadi permintaan yang sangat langsung,” kata Jay Dass dikutip dari Kompas.com pada Jumat (2/9/2022).

Ia juga mengatakan jika fenomena quiet quitting adalah sebuah tuntutan yang datang dari rasa putus asa karena kondisi tidak stabil sepert meningkatnya inflasi, biaya hidup tinggi dan pendapatan yang tidak sesuai.

Baca juga: Arisan Parapuan Episode 13 Ajak Kawan Puan Kenali Bahaya Hustle Culture

“Itu bukan permintaan lagi. Ini adalah tuntutan," tambahnya.

Sikap ini juga merupakan pilihan yang masuk akal daripada memilih berhenti bekerja dan tidak memiliki penghasilan.

“Jika tidak ada yang meminta Anda untuk berhenti, mengapa tidak melakukan lebih sedikit secara default dan lolos begitu saja?," papar Jaya Dass.

Efek Negatif Quiet Quitting

Pattie Ehsaei, selaku pakar perilaku di tempat kerja asal Los Angeles ini, melihat sikap quiet quitting tidak baik bagi pencapaian karier.

"Quiet quitting adalah melakukan hal minimum yang diperlukan dari Anda di tempat kerja dan puas dengan keadaan biasa-biasa saja," kata Pattie Ehsaei.

Pasalnya, sikap tersebut akan membuat pekerjanya tidak bisa mendapatkan kemajuan karier dan gaji yang tinggi.

"Kemajuan dan kenaikan gaji akan diberikan kepada mereka yang tingkat usahanya menjamin kemajuan, dan melakukan yang paling minimum tentu saja tidak," tambahnya.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Kelsey Wat yang merupakan seorang career coach.

Ia melihat perilaku ini bisa menghilangkan semangat terhadap pekerjaan yang dilakukan.

“Sebagian besar dari kita ingin bangga dengan pekerjaan yang kita lakukan dan kontribusi yang kita buat," ujar Kelsey Wat.

"Kita ingin melihat dampak kita dan merasa senang dengan hal itu. Quiet quitting tidak memungkinkan untuk itu,” tambahnya.

Kelsey Wat mengatakan jika kita bisa menetapkan batasan antara pekerjaan dengan kehidupan pribadi tanpa harus melakukan sikap quiet quitting.

Selain itu, konsultan HRD bernama Michael Timme, berpendapat jika quiet quitting bisa memicu konflik antar karyawan.

“Dari sudut pandang kantor, quiet quitting dapat menyebabkan konflik antar karyawan, karena beberapa karyawan akan merasa orang lain tidak memikul beban mereka,” ujar Michael Timme.

"Secara keseluruhan, ini dapat menjadi bumerang bagi karyawan dan juga dapat menciptakan gelombang karyawan yang tidak memadai dan terbelakang,” tambahnya.

Untuk itu, Michael Timme menyarankan agar pekerja muda memaksimalkan jam kerja di kantor agar work life balance. (*)