Grid.ID - Kematian Nenek Hindun terus memunculkan kontroversi yang menjadi perhatian masyarakat luas.
Nenek Hindun merupakan warga Jalan Karet Karya, Setiabudi, Jakarta Selatan yang meninggal dunia pada Selasa (7/3/2017).
Dia tidak disalatkan di Mushola Al Mu'minun di wilayahnya, meski keluarga menghendakinya.
Keputusan Nenek Hindun memilih pasangan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat pada Pilkada DKI Putaran I lalu dinilai sebagai alasan warga menolak mensalatkan dia di mushola.
Apalagi, sebelumnya muncul spanduk yang melarang mensalatkan jenazah yang semasa hidupnya mendukung penista agama.
Ini yang kemudian menjadi kontroversi meluas dan dibicarakan di mana-mana.
Menurut keterangan anak nenek Hindun, Neneng, pasca Nenek Hindun mencoblos Ahok-Djarot, keluarganya menjadi pergunjingan.
"Kami ini semua janda, empat bersaudara perempuan semua, masing-masing suami kami meninggal dunia, kini ditambah omongan orang yang kayak gitu."
"Kami bener-bener dizalimi, apalagi ngurus pemakaman orang tua kami aja susah," ujar Neneng, kepada Liputan6.com di kediamannya, Jalan Karet Raya II, Setiabudi, Jakarta Selatan, Jumat (10/3/2017).
Neneng menceritakan, kronologi jenazah ibundanya ditolak disalatkan di musala oleh ustaz Ahmad Syafii.
Neneng mengatakan, saat itu dia dan keluarganya ingin agar jenazah Hindun disalatkan di mushola, tapi ditolak oleh Ustaz Ahmad Syafii lantaran tidak ada orang di mushola.
Selain itu, tak ada orang yang menggotong jenazah Hindun ke musala.
Sehingga Ustaz Ahmad Syafii mensalatkan Hindun di rumahnya.
"Alasannya, nggak ada orang yang mau nyalatin (di mushola). Padahal, kami ini anak dan cucunya ramai menyalatkan, tapi memang orang lain (warga lain) cuma empat orang (yang datang ke rumah)," terang Neneng.
Neneng menceritakan, saat Pilkada DKI empat petugas KPPS mendatangi rumah mereka untuk meminta Hindun ikut mencoblos.
"Pas pemilihan itu, Mak (Hindun) disuruh nyoblos, ya namanya orang tua sudah nggak tau apa-apa, nyoblos asal aja. Kebetulan yang dicoblos nomor dua dan dilihat sama empat orang petugas itu," terang Neneng.
Sejak itulah, kata Neneng, keluarganya dituduh sebagai pendukung penista agama.
"Ya pas nyoblos itu kan terbuka, dilihat orang banyak. Saya ragu juga, bukannya nggak boleh dilihat siapapun? Tapi, karena Mak sakit, ya sudahlah, kami nggak ambil pusing, pokoknya nyoblos," terang Neneng.
Pencoblosan itu, ternyata jadi malapetaka. Keluarga mereka dituduh mendukung Ahok yang kini berstatus terdakwa dalam kasus penistaan agama.
"Nyatanya itu yang bikin masalah, keluarga kami dituduh keluarga kafirlah, mereka anggap kami semua milih Ahok, padahal itu kan Mak nggak tau apa-apa, asal nyoblos aja," keluh Neneng.
Saat mau disalatkan, kata Neneng, jenazah Hindun dipergunjingkan oleh warga.
Keputusan Ahmad Syafii untuk mensalatkan ibunya di rumah dianggap sebagai keputusan atas spanduk yang dipasang di mushola.
"Di sana banyak yang bilang, jangan disalatkan, itu pemilih Ahok," kata Neneng.
Sementara itu etangga Sunengsih, Syamsul Bahri, kepada detik.com menuturkan, warga membantu mengurus jenazah Hindun.
Warga juga datang untuk melayat.
"Waktu itu saya baru pulang dari kantor. Berita duka terdengar di mushola-mushola RW 5. Itu pergerakan secara otomatis, kalau warga RW 5 itu untuk berita duka cepet gotong royongnya."
"Saya bersama pengurus masjid, Ustaz Syafi'i, langsung ambil pemandian mayat di masjid lainnya, kita dorong, kita siapkan, kita hubungin pemandi mayat," tutur Syamsul.
"Pemandi mayat orang PKS, tapi mereka nggak lihat pilihan, yang mandiin, papan, sampai ambulans mereka menghubungi Golkar dan PDIP itu nggak ada, lagi penuh. Akhirnya dari timses Gerindra."
"Dari RW punya inisiatif untuk memanggil ambulans. Akhirnya datang, ambulans Anies-Sandi. Itu kan tidak melihat perbedaan, tetap dukung, karena itu kan warga kita," sambungnya.
Soal jenazah Hindun yang tidak disalatkan di musala, menurut Syamsul, waktunya tak memungkinkan.
"Ustaznya salatin dan warga ikut salatin. Untuk klarifikasi bahwa mushola tidak mau mensalati itu salah," tegasnya.
"Karena waktu yang membuat seperti itu. Kenapa? Meninggal pukul 13.30 WIB. Pemandian jam 17.00 WIB, pemandiannya, rempah-rempahnya itu butuh waktu."
"Abis dari pemandian selesainya jam 17.30 WIB masuk ke rumah, karena kebetulan rumahnya gangnya sempit. Warga ngelayat langsung pulang, karena kalau tidak langsung pulang, rumahnya penuh," lanjut Syamsul.
"Sampai situ mandiin, kafanin, doain, keluarga cium itu ada proses waktu. Kira-kira selesainya jam 18.00 WIB kurang."
"Cuaca waktu itu sudah gelap, mau hujan besar. Kalau kita ke musala lagi, itu akan memakan waktu, jangan sampai ke kuburan itu malam."
"Akhirnya inisiatif ustaz dan tokoh-tokoh abis mayat ditutup langsung disalatin di situ. Kebetulan kalau di mushola jemaah kita belum pada pulang kerja, ada yang berdagang," sambung Syamsul.
"Sampai selesai salatin jam 18.00 WIB lewat, langsung ke ambulans biar nggak kemaleman. Sesudah di ambulans pas perjalanan di Kuningan macet, sampai di Kuningan hujan besar itu jam 18.30 WIB."
"Sampai selesai jam 19.00 WIB kurang. Ada warga yang ikut, ada yang nggak ikut, karena ada yang punya keperluan, jadi saya klarifikasi warga pada ikut, tokoh-tokoh juga ikut, termasuk Ustaz Piih (Syafi'i, red) dan pengurus musala," sambungnya lagi.
Ketua RT 9 RW 5, Abdurrahman (40), mengamini semua cerita Syamsul Bahri.
Dia mengatakan warga ikut membantu mengurus jenazah Hindun.
Dia juga menyatakan ikut membantu mengurus surat-menyurat kematian Hindun.
Soal salat jenazah, Abdurrahman mengatakan bisa di mushola, bisa juga di rumah.
Soal salat jenazah di rumah merupakan hal biasa, menyesuaikan dengan kondisi.
"Semua, RW sini, kalau ada kejadian meninggal di rumah, kalau salat bisa di rumah bisa di mushola. Almarhumah Bu Hindun di rumah karena waktunya mepet kali ya," tutur Abdurrahman.
Soal spanduk penolakan mensalatkan jenazah yang sempat dipasang di Musala Al-Mu'minun, Abdurrahman tak mau bicara banyak.
Dia mengatakan itu merupakan inisiatif warga. Namun dia mengaku tak tahu siapa yang memasang.
Talitha Curtis Bongkar Kelakuan Ibu Angkat, Pernah Sodorin Dirinya ke Om-om di Usia 13 Tahun Demi Hal Ini
Penulis | : | Hery Prasetyo |
Editor | : | Hery Prasetyo |