Laporan wartawan grid.ID, Aji Bramastra
Grid.ID - Di kalangan aktivis hak asasi manusia, nama Aung San Suu Kyi sangat populer.
Aung San Suu Kyi dianggap menjadi pahlawan bagi demokrasi rakyat Myanmar dari kekuasaan junta militer.
Ia pernah bertahun-tahun dijadikan tahanan rumah oleh penguasa, karena dianggap terlalu vokal menyuarakan demokrasi di Myanmar.
Wanita 72 tahun ini, akhirnya menerima Nobel Perdamaian atas perjuangannya tanpa henti di Myanmar.
(BACA : Dapat Yang Lebih Muda, Cantik Dan Kaya, Istri yang Sedang Hamil Akhirnya Dibuang! )
Untuk menghormati keberaniannya, grup band U2, bahkan mempersembahkan lagu khusus buatnya.
Lagu itu berjudul Walk On, yang dirilis dalam album All That You Can't Leave Behind, pada tahun 2000 silam.
Ironis, karena kini Aung San Suu Kyi justru dianggap sebagai 'monster'.
Ada juga yang mengutuknya sebagai 'Ratu Iblis'.
(BACA : Tega Banget, Oknum Polisi Banting Seorang Ibu yang Sedang Gendong Anaknya! Lihat Videonya! )
Itu karena Aung San Suu Kyi, yang akhirnya memenangkan pemilu di Myanmar, dianggap diam saja dengan isu pembantaian etnis Rohingya di Myanmar.
Belasan aktivis dan mantan penerima Nobel, bahkan kini tak segan menarik ucapan mereka.
Dikutip Grid.ID dari The Guardian, dari memuji, para aktivis kini berbalik mengkritik Aung San Suu Kyi.
Mereka menulis surat terbuka untuk PBB, terkait adanya pembantaian etnis di Myanmar.
"Bila kita tak melakukan aksi, orang-orang akan kelaparan sampai mati, bila tidak, akan mati tertembak,".
"Suu Kyi adalah pemimpin di sana, dan dia yang bertanggungjawab untuk memimpin, dengan keberanian, kemanusiaan, dan welas asih," tulis surat tersebut
Lalu, benarkah Suu Kyi diam saja dengan isu pembantaian etnis Rohingya?
Dikutip terpisah oleh Grid.ID dari The Guardian, berikut 4 hal yang membuat Suu Kyi dianggap 'berdosa' karena terjadinya isu pembantaian etnis Rohingya :
1. Menolak Investigasi Tim PBB
Pada 3 Mei 2017, AFP melansir Aung San Suu Kyi sempat menolak permintaan komisi HAM PBB untuk datang ke Myanmar.
Padahal, Tim PBB datang dengan misi menyelidiki dugaan adanya pembantaian etnis Rohingya.
Penolakan Suu Kyi diutarakan dalam kunjungannya di Belgia.
"Kami menolaknya, karena (kunjungan) itu bukan solusi untuk menyelesaikan apa yang terjadi di tanah kami," ujar Suu Kyi dikutip Grid.ID dari The Guardian.
2. Membantah Pembantaian
Suu Kyi terus membantah adanya pembantaian etnis Rohingya di Myanmar.
Dalam wawancara bersama BBC, 5 April 2017, Suu Kyi mengatakan bantahan tersebut.
"Tidak benar ada pembantaian etnis. Istilah pembantaian etnis terlalu berlebihan untuk menggambarkan apa yang sedang terjadi," ujar dia.
Suu Kyi juga kesal karena aktivis dunia menganggapnya tidak bersuara terhadap adanya pembantaian Rohingya.
"Saya sudah menerima pertanyaan ini sejak 2013. Saya sudah menjawab, tapi mereka terus mengatakan saya tidak bersuara. Penyebabnya, hanya karena saya tidak membuat komentar yang menyudutkan pihak tertentu," kata Suu Kyi.
3. Menolak Visa Tim Kemanusiaan
Pemerintahan Myanmar di bawah Aung San Suu Kyi bahkan menolak memberi visa untuk tim kemanusiaan yang datang ke Myanmar.
Padahal, tujuan tim ini adalah untuk etnis Rohingya, termasuk PBB.
Penegasan itu disampaikan oleh staff kementerian luar negeri Myanmar, Kyaw Zeya.
"Bila ada yang datang untuk misi pencarian fakta, tidak ada alasan bagi mereka untuk datang," kata Kyaw Zeya, dikutip Grid.ID dari The Guardian, 30 Juni 2017.
4. Dianggap Anti Rohingya
Matthew Smith, pimpinan lembaga HAM Fortify Rights, mengatakan komentar-komentar Aung San Suu Kyi sebagai pemimpin Myanmar, tak mengayomi etnis Rohingya.
"Aung San Suu Kyi terus membuat pernyataan yang merusak,"
"Pemerintahannya menunjukkan sikap anti Rohingya, anti terhadap misi kemanusiaan, sehingga makin membuat panas negara ini,"
"Sebagai seorang pemimpin negara, Aung San Suu Kyi harusnya memberikan pesan yang menenangkan, juga menginstruksikan militer untuk menahan diri,"
"Pesan dari Suu Kyi justru tidak bertanggungjawab terhadap apa yang terjadi saat ini," ujar Matthew, dikutip Grid.ID dari CNN, 31 Agustus 2017. (*)
Penulis | : | Aditya Prasanda |
Editor | : | Aditya Prasanda |