Grid.ID – Indonesia terkenal dengan berbagai suku dan budaya, maka tak heran jika Indonesia juga memiliki beragam tradisi yang sudah melekat dari jaman nenek moyang.
Termasuk tradisi jelang Hari Raya Idul Fitri yang berbeda-beda.
Biasanya masyarakat Jawa akan menyambut hari ke-21 bulan Ramadan dengan malam likuran.
Tapi warga Demak punya cara tersendiri untuk menyambut hari tersebut.
Baca Juga: Hilangkan Jerawat Sebelum Hari Raya dengan 4 Minuman Berikut, Ampuh Banget!
Kota Wali di Jawa Tengah yang pernah menjadi pusat peradaban Islam pada awal masa penyebarannya ini menyimpan tradisi Weh Huweh yang tak lekang digerus zaman.
Tradisi yang juga disebut Weh wehan ini merupakan tradisi bertukar makanan yang disajikan di depan rumah masing-masing.
Momen Weh Huweh biasa digelar lepas shalat maghrib hingga menjelang isya.
Makanan yang ditukarkan sesuai dengan ciri khas keluarga masing-masing.
Baca Juga: Bikin Lebih Percaya Diri, ini 3 Pesan yang Bisa Dipetik Setelah Nonton Film Aladdin!
Tradisi Weh Huweh berpusat di sepanjang Jalan Sampangan hingga Domenggalan, Kelurahan Bintoro, Demak.
Permukiman padat penduduk itu terlihat semarak oleh lalu lalang masyarakat yang saling menyapa sambil menukarkan berbagai bentuk sajian.
Senyum ceria menghiasi raut setiap yang terlibat. Di kanan kiri, terlihat juga balon warna-warni yang menambah ceria suasana.
Turun temurun Ahmad Zaky Mubarok, tokoh masyarakat setempat yang lahir dan dibesarkan di Kota Wali Demak, menuturkan, tradisi Weh huweh sudah dilakukan turun temurun.
Tidak jelas juga siapa yang memulainya.
Baca Juga: Gigi Sebut Yuni Shara dengan Panggilan 'Tante', Raffi Ahmad Justru Lakukan Hal ini Karena Keberatan
“Entah kapan tradisi ini ada dan siapa yang memulai. Yang jelas, menurut saya, tradisi Weh Huweh adalah baik karena mengajarkan anak untuk saling berbagi, saling memberi atau bertukar jajan-makanan antar tetangga dan saudara juga melatih anak atau seseorang berbuat jujur dan menjalin silaturahim,” kata Zaky, Sabtu (25/5/2019).
Weh Huweh di Demak menjadi menarik karena untuk memberi atau mengambil makanan tak harus ada si empunya rumah.
Makanan sudah disajikan di tempat yang terjangkau baik oleh anak-anak maupun orang dewasa.
Jadi siapa pun bisa mengambil dan menaruh makanan sesuai keinginannya.
Di sinilah terlihat kejujuran, tidak ada yang saling mencurangi, misalnya hanya mengambil tanpa memberi.
Baca Juga: Memakan Telur Rebus dengan Lapisan Berwarna Hijau Bisa Berbahaya Untuk Kesehatan, Benarkah?
Semua warga sudah yakin bahwa tradisi Weh huweh menjadi salah satu bekal untuk menuju Malam Seribu Bulan atau Lailatul Qodar.
“Tradisi Weh Huweh menjadi satu momentum silaturahmi, tak ada saling menjahati atau menyakiti, di sini silaturahim menjadi kembali tulus, saling memberi tanpa pamrih, tanpa memilih siapa yang disukai siapa yang tidak disukai,“ ujarnya.
Tradisi Weh Huweh juga menjadi sebuah ajang netralisir kepentingan.
Sebab di sini siapapun berhak memberi dan menerima makanan yang ada tanpa pembatasan kasta. Hanya kejujuran dan tenggang rasa yang mewarnai.
Keindahan ini lalu ditutup selepas maghrib dengan memulai itikaf di tempat-tempat ibadah untuk mencari berkah Ramadhan. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Tradisi Weh Huweh di Demak, Bebas Bertukar Makanan Saat Ramadhan”
5 Arti Mimpi Mandi Air Hujan, Tak Perlu Khawatir, Simbol Keberuntungan dan Kesuksesan, Begini Ulasannya!
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | None |
Editor | : | Ngesti Sekar Dewi |